Bab 7- Cium Tangan

2.3K 179 68
                                    

      Sekitar pukul 17.35 aku sudah kembali ke habitat ku sebagai santri yang tinggal di hunian asrama. Di tempat ini, hanya menyisakan beberapa santri putri yang sama berhalangan denganku.

       Rutinitas ini adalah ke bahagiaan tersendiri bagi kaum hawa bergelar santri pemalas yang modelnya seperti aku. Ya, karena saat-saat seperti inilah waktu paling nikmat di gunakan untuk bersantuy ria.

        Brukk.. Aku menghempaskan tubuhku ke kasur, berniat sedikit meregangkan otot-otot juga mencari posisi paling nyaman dengan mengangkat kaki kanan menopangkannya ke atas kaki kiri.

     Niatnya hanya sekadar meregangkan otot, nahasnya hanya beberapa menit dengan posisi ini aku sudah berulang kali menguap, dasar pasti sang penggoda datang, ikut bercampur tangan mempengaruhiku, buktinya lama-kelamaan kelopak mataku mulai ketarik ke bawah, tak kuasa. Walau kasur ini tidak senyaman kasur di ndalem tapi tidak masalah bagiku yang penting kasur fungsinya masih sama bisa di pakai bobok.

"Eh.. Diil, jangan tidur!"

"Astagfirullah Dila, lagian inikan masih sore."

"Gak boleh Dil, tidur sore-sore!"

"Tapi guys, kayanya enak deh rebahan kaya Dila, ikutan bentar mah kagak apa-apa kali."

"Aduh Nuni sebelas duabelas dong sama Adila."

       Sayup-sayup aku mendengarkan ocehan para netizen. Setengah sadar aku tertawa tanpa suara, sungguh rasanya geli. Walau setelahnya mataku ketarik lagi ke bawah. Ocehan mereka aku anggap nyanyian nina bobo. Sebelum ada Asatid yang benar-benar bertindak, seorang Adila akan tetap pada pertahanannya. Kalau mereka pikir aku bakalan risih mendengarkan ocehan mereka, justru aku malah semakin hanyut menikmati suara-suara kesal mereka karena putus asa sendiri membangunkanku. Bahkan ada yang terjerumus seperti Nuni. Haduh maaf Nuni padahal aku tidak bermaksud lho.

"Lagian kalian capek-capek bangunin si Dila. Udah tahu tuh anak ratunya tidur! Eh Nuni, jangan mau terpengaruh, emang dasarnya aja sih anaknya pembawa pengaruh buruk di Asrama!"

         Mendengar itu sepontanitas dong aku langsung terduduk menatap sorot matanya nanar, bagus sekali ucapannya membuat rasa kantukku lenyap, mohon maaf kali ini hatiku meletup-letup susah sekali dikendalikan. Walau hubunganku dengannya tidak begitu akrab tapi, tidak pernah sampai seperti itu sebelumnya.

"Maksudmu apa?!" tuturku, tak mau kalah.

"Adila tahan, Rianty tolong kendalikan lisanmu, jaga sikap kita ini seorang santri!" tukas salah satu santriwati menengahi kami. Aku menghembuskan nafas kasar saat dia mendelik muak ke arahku.

Toktoktok!

"Ada Adila Khanza?" Ku dengar ada yang memanggil, suara itu milik Mbak Halimah istri dari kak Alim. Aku syukuri saja hal itu, karena setidaknya jadi bisa menahan rasa kesalku kepada si nyamuk.

***


       Ndalem tampak ramai di penuhi kerabat saudara berdatangan. Sepertinya akan ada acara syukuran sekeluarga saja karena kulihat tidak ada orang luar di sini. Syukurlah aku lega karena dipanggil Ummi ke sini itu artinya aku masih dianggap sebagai anggota keluarga bukan? Hehe. Aku memilih langsung berjalan ke dapur karena yakin sekali Ummi pasti ada di sana.

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang