Bab 5- Pria Bersarung Hijau

2.3K 152 17
                                    

Siapa kamu?
Berani sekali masuk kedalam mimpiku.
Eh, tunggu! Apa kamu orangnya?
Yang dikirimkan semesta, bertugas menyembuhkan lukaku?

🍁🍁🍁

        Terik matahari kini berganti dengan gulungan awan ke hitam-hitaman, cahayanya mulai surut padam berganti remang, desiran hawa dingin mulai terasa di sekujur badan. Mungkin sebentar lagi akan datang hujan. Biarlah hujan turun menemani hari lelahku.

        Lelah. Pasalnya sehari lagi adalah acara walimahannya Mbak Aini, ditambah lagi hari ini adalah hari penyambutan kedatangan Gus Khamni. Sehingga hari ini harus lebih ekstra lagi menyumbangkan banyak tenaga.

        Karena menyiapkan beberapa rangkaian acara seperti akad, kajian, hiburan, dan semacamnya itu, tidak semudah apa yang dibayangkan. Berhubung kini aku masuk dalam kategori Pengurus karena sudah menjadi santri tingkat akhir, sudah pasti disebut yang paling dewasa setelah anak kuliahan. Dan itu artinya dituntut harus bisa membimbing bukan dibimbing lagi.

'Hualah.. pokoknya capek sekali. Rasanya aku ingin tidur saja. Melupakan segala tanggung jawabku,' --raungku dalam hati sia-sia.

***

        Gerimis sudah mulai berjatuhan, namun tidak mencegah para santri dan santriyah untuk terus berjalan. Suara ramai bersahutan dan berlimpahan semua menuju tempat tujuan acara penyambutan Gus itu, begitupun dengan dua sahabatku. Menyebalkan mereka juga ikut-ikutan nimbrung ke sana.

        Iya. Karena hanya aku yang jalannya berlawanan arah, tidak begitu tertarik menyambut kedatangan Gus itu, kini aku malah berjalan gontai menghilang dari keramaian menuju dapur yang letaknya dekat ndalem.

         Bukannya mengapa, hanya saja rasanya aku lebih kasihan pada tenggorokkanku yang kini tengah dilanda kehausan ingin segera dialiri cairan bening bercampur es batu. Jujur saja, seharian memeras keringat membuatku tak begitu peduli dengan acara penyambutan itu.

    Glek-.

        Alhamdulillah. Setelah menenggak hingga kandas, kini tanganku terarah ke meja meletakan gelas beling secara perlahan. Bola mataku terus ikut bergerak berjaga-jaga, mirip pak satpam yang tengah mengawasi tempat tugasnya. Bedanya aku takut terciduk oleh Ustadzah atau para penghuni ndalem.

         Kini kelelahan telah menutupku tak ingin melanjutkan lagi kegiatan-kegiatan yang membuatku semakin lelah, ribuan bisikan kemalasan turut ikut menyerang otakku. Ditemani suara hujan yang terdengar jelas di gendang telinga, kini hujan sudah turun, tentunya membuatku semakin malas untuk kembali ketempat tadi. Aku tersenyum miring, memikirkan nasib para santri yang tengah kehujanan di acara penyambutan itu.

        Dapur memang sedang sepi, melihat suasana mendukung seperti ini akhirnya kakiku tergerak melangkah keluar menuju jalan yang menghubungkan dapur dengan ndalem, batinku yang telah disiasati syaitan turut membela, 'tidak apa-apa lanjutkan saja langkahmu, toh di sini juga tidak ada payung kan? sebagai alat bantu menerjang hujan ke acara penyambutan itu. Yasudah berarti jalan yang menghubungkan dapur ke ndalem adalah pilihan terakhir hehe.'

***

        Mengendap-ngendap melalui pintu belakang menuju kamar kesayangan yang sudah lama kurindukan. Rasanya tubuh ini ingin segera ku baringkan di sana.

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang