Bab 4- Sepanas Terik Matahari

2.4K 147 18
                                    

وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ

'Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.'

°°°

Dugh-

"Astaghfirullah, Adila!"

        Terdengar samar-samar suara dari sebelah kananku, sempat sadar aku hanya sanggup membenarkan letak Al-qur'an saja dari cekalan, yang kini sudah tergeletak di bawah karena aku sempat tak sadar terlelap tidur. Kuciumi Al-qur'an tersebut sebagai bentuk rasa cintaku kepada Kitab Allah.

        Karena mataku sangat berat Aku berpikir ingin kembali ke dunia mimpi, sebelumnya aku sempatkan melirik si pintar itu dengan khas cengiran kuda. Ia hanya menggeleng-geleng tak habis pikir melihat aksi rutinanku ini, dan memilih kembali melanjutkan tilawah nya.

        Mungkin sedikit kesal karena entah sudah berapa kali ia telah menegurku, membangunkanku, menyadarkanku, tapi sayangnya sia-sia. Semua itu percuma karena aku sudah tidak bisa lagi menjaga mataku agar tidak terpejam dan menahan keseimbanganku agar tidak sesempoyongan bak sintren yang sedang diputarkan lagu kuda lumping.

   Dua menit berlalu. Aku sudah terlelap.

"Dil, bangun! Sudah ada Ustadzah!"

        Walaupun masih sedikit mendengar suaranya aku memilih hanyut dalam mimpi. Seperti diolesi lem mataku tertutup rapat sulit tuk dibuka. Ku turuti hawa nafsu, membiarkan syaitan berpesta di kelopak mata, menghiraukan suara Andini yang semakin kesulitan membangunkanku.

    Tiga menit.

"Dil?!"

    -Bugh.

        Terlambat. Mendaratlah pukulan dipunggung, yang pertama aku lihat semua mata mengarah padaku, mungkin mencari siapa yang baru saja disabet pakai sajadah milik Ustadzah bagian peribadahan. Aku jadi menyesal karena menolak ajakan Andini untuk tidur siang agar tidak ngantuk separah ini di waktu subuh.

         Detak jantungku berpacu cepat tak normal, mungkin efek pukulan tadi cukup membuatku kaget. Begitu picik buaian Syaitan kalau sudah begini ia malah kabur tak ingin bertanggung jawab. Buktinya rasa kantuk di kelopak mataku menghilang entah kemana perginya.

"Adila! Cepatlah pergi berwudhu kembali!" Perintah Ustadzah geram, karena harus menghadapi santri pemalas sepertiku. Sebelum pergi ke hammam aku hanya menunduk malu karena baru aku yang terciduk tidur.

    Dugh brakk-

"Fatmaaa!"

        Aku terkejut! Bukan karena suara Ustadzah menggelegar meneriaki Fatma. Tapi, aku terkejut menyaksikan Fatma terjungkal sadis di sebelahku.

        Aku pikir dia sedang khusyu membaca Al-Qur'an karena terlihat menunduk fokus terhadap Al-qur'annya, ternyata tidak jauh berbeda denganku. Ingin tertawa tapi takut dosa, yang pasti aku syukuri saja atas aksinya setidaknya ketika nanti dihukum aku jadi ada teman.

         Semua santri susah payah menahan gelak tawanya agar tidak terturuti, begitupun dengan aku dan Ustadzah. 

***

         Sinar matahari masih bertahan menyorotkan panas sinarnya padaku, Fatma, dan beberapa santri tukang tidur pada saat jam baca Al-qur'an subuh tadi.

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang