Bab 6- Tragedi Noda Merah

2.4K 142 23
                                    

Happy Reading😘
________________________________________

        Menutup wajah dengan kedua belah tangan rapat-rapat, isi kepala juga turut menolak, terus bergerak kanan-kiri, tak ingin tahu apa yang akan terjadi di beberapa detik berikutnya. Walau pasrah, terus ku panjatkan do'a tanpa suara.

Semoga dia tidak melihatku.
Semoga keberadaanku tidak diketahui.
Semoga dia-

"Astaghfirullah, jadi anti tidur di sini?"

Deg- suara orang asing itu berhasil membuatku kalap sendiri.

         Doaku terputus, mata sontak langsung terbuka. Aku terciduk. Semesta bagaimana ini? Sepertinya jantungku juga ingin melompat dari tempatnya, karena tak mau ikut menanggung malu bersamaku. Walau masih belum begitu jelas melihatnya, dari mendengar suaranya bisa ku pastikan pria itu telah berhasil memergokiku yang tengah rebahan di bawah kolong tempat tidur ini.

        Kudengar tadi dia mengucapkan istighfar karena keterkagetannya padaku, tidak lama disusul dengan suara kekehan kecil, mungkin sedikit geli melihat santriwati unik sepertiku entahlah, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, yang jelas hal ini membuatku malu.

       Setelah sadar aku ini seorang akhwat (perempuan) buru-buru langkahnya menuju gagang pintu, membuka persegi panjang berwarna coklat itu lebar-lebar. Mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti timbul fitnah, serta hasutan syaitan lainnya karena kami hanya berdua, bukan mahram.

"Kamu Adila? Adila Khanza Humaira binti K.H Husein Al Arif, putri Abi?"

        Semesta, apa betul pria yang mengajakku bicara ini manusia? Mengapa dia menanyakan hal bodoh di tengah kesulitanku? Apa dia melupakan keadaanku saat ini yang terjebak di bawah kolong? Aku mendengus sebal menghiraukannya sambil mendorong-dorong paksa koper yang menghalangi ini. Sebenarnya ini sedikit kode agar dia bisa membantuku. Mana mungkin aku kuat menyingkirkan koper sebesar ini dengan segala kelelahanku di hari ini.

"Oh maaf, biar kubantu." Syukurlah dia mengerti maksudku, dengan segera menarik kopernya dan memberiku jalan untuk keluar, dengan sigap aku keluar dengan cara merondang, setelahnya langsung berdiri membenahi letak kerudung.

Deg-

        Sontak netraku bertemu dengan netranya beberapa detik, setelahnya dia langsung menunduk aku malah menatapnya. Walau setelahnya aku menyusul juga ikut menunduk karena khawatir dugaanku salah. Iya, aku menduga bahwa pria ini adalah kak Azis, kakak kandungku! Selintas tampak sangat mirip. Tapi, apa benar sosok ini kak Azis? Dengan ragu-ragu aku berniat angkat suara menanyakan sosok siapakah sebenarnya orang yang di depanku ini. Kak Aziz atau bukan.

"Ada apa?" Kini ia mendahuluiku bersuara. Dia melirikku sedikit heran. Aku langsung menarik napas dan menyiapkan pertanyaan ku tadi.

"Apa njenengan ini adalah kak Az-" mulutku tebuka.

        Ah, menguras kesabaran, lihatlah dia menunduk, sangat menunduk seperti mengabaikan aku sebagai lawan bicaranya, membuatku kesal. Astagfirullah, mood ku memang sedang buruk, maafkan jika aku berlebihan.

"Sebaiknya saya segera keluar," ucapnya masih dengan menunduk namun, gerakannya mulai beranjak melangkah pergi. Yasudahlah lupakan pertanyaanku. Sepertinya dugaanku juga salah, dia bukan kak Aziz, jika dia memang kakakku pasti sikapnya tidak akan sekaku itu, ditambah terlihat sekali dia sangat menjaga jarak denganku. Sepertinya aku hanya sedang merindukan Kak Aziz. Lupakan!

"Eh, tidak perlu Gus, njenengan pasti Gus Khamni, kan? Kalau begitu biar aku saja yang keluar. Assalamu'alaikum," tuturku menahan langkahnya. Buru-buru aku memegangi gagang pintu kamar berniat beranjak pergi dengan cara takzim juga dengan mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam. Saranku sebaiknya sebelum meninggalkan ndalem, anti pergi ke air dulu, agar bisa membersihkan 'i-itu' karena khawatir dilihat banyak orang."

        Belum berhasil melewati pintu, penuturannya jelas mencegah langkahku, cara bicaranya tampak sedikit ragu, yang dimaksud 'itu' apa? Benar-benar membingungkan. Sorot mataku mengarah padanya minta penjelasan.

"Mohon maaf, noda merah yang sama seperti warna yang menempel di lantai ini," jelasnya lagi.

        Apa!? Mataku hampir keluar karena tercengang melihat lantai yang dimaksud nya, jangan tanyakan ekspresi saat ini seperti apa, yang jelas pipi terasa panas, mungkin sudah memerah saking malunya. Lantai itu berwarna putih tapi, ada sedikit bercakan noda merah di daerah yang aku singgahi tadi. Semesta, apa noda merah itu, darah? Yang berasal dariku? Ah, yang benar saja. Huaaah.. Malu sekali, kalau iya. Tolong! Aku ingin menghilang saja.

"Aku minta maaf Gus, akan segera ku bersihkan. Izin ke air dulu." Tuturku menahan malu.

"Ada apa Nak Aziz?" Prangg! Suara yang sedari tadi aku hindari, kini muncul tiba-tiba dari arah pintu masuk kamarku. Tepat sekali di depanku. Ia datang dengan ekspresi terkejut, karena menyaksikan ada aku di kamar ini. Keberadaanku berdua dengan Gus Kham-- eh tidak, tunggu! Tadi Abi panggil pria ini bukan Gus Khamni tapi, nak Aziz! Iya, itu nama kakak laki-laki ku. Sebenarnya ini bagaimana? Aku benar-benar tidak mengerti.

"Astagfirullahal'adziim.. Adila sejak kapan kamu ada di sini?" Walau tidak membentak, tapi jelas ada nada ketegasan dan sorot mata darinya, aku bingung dengan keadaan ini. Satu sisi aku juga ingin bertanya pada Abi, mengapa Abi memangil Gus Khamni dengan memanggilnya Nak Azis. Seperti disiram dengan air es, tubuhku mendadak membeku, tak mampu berkutik. Apa Abi kecewa kepadaku?

"Maafkan Dila, Abi.. karena kelelahan tadi, Dila ikut tidur di kolong tempat tidur kamar Dila agar tidak ketahuan oleh siapapun, Dila minta maaf, Abi," tuturku dengan mata sayu memohon maaf.

        Abi membuang napas berat saat bola matanya tepat menatap mataku, sebenarnya aku sudah pasrah jika Abi ingin menghukumku. Tapi ini lain, Abi seperti sedang memikirkan hal lain yang lebih dalam padaku. Kini Beliau hanya terdiam seperti sedang bergelut dengan pikirannya.

"Jadi benar dia Kak Aziz? Kakak kandungku? Kalau memang benar begitu mengapa sikap Kak Aziz begitu aneh padaku?" Tuturku bingung.

Aku mulai mendekati Kak Aziz dan menjulurkan tangan ingin memeluknya, "Adila sangat merin-" 

"Jangaan!!" Ucap Abi dan seseorang yang kuduga kakak laki-lakiku itu, mereka bersuara kompak. Aku terkejut, bahkan kalimatku belum selesai sudah diserang oleh mereka, ada apa ini.

        Ini menjadi kebingungan besar bagiku, mengapa aku tidak diperbolehkan memeluk kakak kandungku? Seingatku hal itu sudah biasa aku lakukan dengan kakakku lainnya dari kecil bahkan sampai sekarang, aku masih ingat bagian di mana aku suka merengek meminta dipeluk atau di gendong oleh mereka. Tapi sekarang, memangnya kenapa? Toh, aku sehat tidak terserang virus.

"Hem, itu.. noda merah, iya," tutur kak Aziz dengan kaku.

        Halah iya. Aku melupakan noda merah, pipiku kembali memanas karena diingatkan mengenai masalah noda merah. Aku merutuki ke bodohanku benar-benar memalukan, mengapa bisa lupa, baiklah aku segera pamit sambil cengegesan ke belakang sebelum Abi juga ikut bersuara.

###
(To be Continue)

Jadikan Al-Qur'an bacaan utama.

_HijrahCintaDibilikPesantren_
✍Liana Dwi Arelina
•Bandung, 19 Februari 2020
23.09

° ° °

Mohon ma'af lama aku menghilang dari dunia orange ini, bukan maksud ingin menggantung cerita.
Beberapa hari ini kerjaanku sering lembur, jadi waktu menulis sangat sedikit. Mohon dimengerti, ya? Readers HCDP♡

Jazakumullah khairan, telah membaca kisah Adila.
💛

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang