Joshua tidak ingat di rumahnya pernah memelihara anjing. Atau kucing. Atau jenis hewan lain yang bisa merusak tanaman mama dan mengotori teras yang berada tepat di bawah kamar si cacat-begitu ia memanggilnya. Hingga sedetik kemudian laki-laki yang mengenakan celana jins pendek itu tersadar, sejak kapan pula dia peduli dengan apa yang dipelihara di rumah ini?
Mana ada anjing yang mau dipelihara anjing, pikirnya.
Namun, sekali lagi dia menoleh. Menatap pot tanah liat yang pecah. Tanah dan tahi kambing yang berhamburan ... dan langkahnya seketika terhenti saat suara dering ponsel menginterupsi. Sambil berbalik dan melupakan niat untuk memeriksa apa yang terjadi dengan tanaman mama, laki-laki itu mengangkat telepon, meletakkannya di salah satu telinga.
"Gue otewe."
Ponsel itu sudah dimasukkannya ke saku celana. Dia sempat berhenti melangkah untuk menatap langit. Mengamati gumpalan awan kelabu yang mulai bergantungan di atas sana. Pakek mobil aja, Jo. Bentar lagi ujan. Joshua mengangguk. Benar, sebentar lagi hujan. Namun, dia malas, karena nanti harus menjadi sopir manusia-manusia brengsek itu jika mereka berniat pindah tempat nongkrong. Dia juga tidak ingin mobil kesayangannya menjadi bau asap rokok ganja.
Maka, Joshua memilih pergi dengan motornya. Dengan kecepatan penuh dia pasti sudah sampai tanpa perlu kehujanan, pikirnya. Sayang, baru setengah jalan, hujan sudah lebih dulu mengguyur. Laki-laki itu mau tak mau menepi di deretan ruko yang tutup di hari Minggu.
Laki-laki itu menghela napas. Mulutnya sibuk mengumpat dengan tangan terus menerus menepuk jaket denimnya yang terkena air hujan. Sedetik ... lima ... sepuluh ... Joshua terdiam. Menatap air hujan yang menderas. Suara bulir air yang bersentuhan dengan tanah dan atap ruko tempat dia berteduh itu mulai mengisi kekosongan, memenuhi indera pendengarannya, menghipnotis kepalanya yang tiba-tiba teringat pada pot mama yang hancur tadi.
Pasti teras rumahnya sekarang sudah berlumpur terkena air hujan.
***
Joshua tidak habis pikir, pot tanaman mama yang hancur tadi benar-benar mengganggu pikirannya. Apa yang salah? Apa yang sudah terlewat? Apa mungkin karena tanaman itu berada di bawah kamar si cacat? Atau pot tanaman itu hancur karena si cacat terjatuh saat mencoba kabur?
Sebentar.
Sejak kapan dia peduli? Kenapa pula si cacat itu harus kabur dan terjatuh dari jendela saat pintu rumah selalu terbuka lebar jika dia memang ingin pergi untuk selamanya?
"Ru! Woy! Biru!"
Teriakan itu langsung menyeret pikirannya ke alam nyata.
Joshua yang pikirannya sudah kembali itu hanya melirik, menatap lintingan ganja yang kini disodorkan di depan wajahnya.
"Nih! Cepetan!"
"Nggak, untuk lo aja." Joshua menepis tangan tersebut. Mengatakannya dengan malas.
"Tumben lo. Sini, untuk gue aja," timpal temannya yang lain lagi.
Joshua tidak peduli, pikirannya kembali dikuasai oleh pecahan pot mama. Apa yang salah ... laki-laki itu langsung menegakkan punggung, mengambil ponsel di saku, yang ternyata, mati. Tunggu ... memangnya kalau ponselnya hidup, dia mau menghubungi siapa?
Ia menghela napas kesal. Kembali menyandarkan punggung di sofa. Matanya sempat menatap sekitar. Kepulan asap rokok yang memenuhi udara, botol-botol minuman yang setengahnya sudah habis, kartu-kartu dan uang ... padahal ini masih siang, atau menjelang sore. Bukannya apa yang sedang manusia-manusia brengsek lakukan ini berlebihan? Lucu. Padahal dia juga salah satu dari manusia berengsek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU SAMUDRA (SELESAI)
Mystery / ThrillerTeenfiction/Mistery Jonathan, kakak kembar Joshua itu cukup aneh. Gelagatnya seperti ada maksud lain. Sungguh tidak biasa melihat laki-laki yang kakinya cacat itu berdiri di depan pintu, menyambut Joshua pulang dengan wajah semringah. Beruntung, k...