Joshua merasa terhormat, bisa melihat Linda Putri Pelangi yang berhenti bernyanyi akibat trauma kecelakaan itu, secara ajaib pulih di atas panggung final Submit Your Music. Meskipun akhirnya mereka kalah dari Achazia, tetapi bagi Linda, dia baru saja menang atas dirinya. Dan Joshua iri untuk itu.
Semua orang sedang bersuka cita karena Benang Raja yang hanya bisa menyabet juara tiga tetap akan tampil di panggung The Fest. Meskipun mereka tidak mendapatkan hadiah rekaman dan kontrak dari label ternama, tetap saja, bagi mereka, band amatir yang dibentuk secara mendadak, dan dipaksa mengikuti kompetisi besar, ini adalah prestasi luar biasa.
Joshua tidak tahu kapan terakhir kali ia merasa bahagia seperti ini. Tidak tahu sejak kapan bisa ikut tertawa lepas dengan hal-hal receh yang teman-temannya ceritakan. Tidak tahu mengapa ia merasa hangat dan tidak ingin pesta kecil yang diadakan di rumah Aimee segera berakhir. Rasanya, esok hari ia tidak akan bisa merasakannya lagi.
"Thanks, Jo. Tapi gue tetep bakal ngehajar elo kalo sampe berani deketin Linda."
Joshua tertawa pelan mendengar ucapan Mezian yang baru saja menyusulnya ke teras. Rokok yang masih setengah itu langsung dimatikan. "Gue nyesel, kenapa waktu itu bukan gue yang deketin Linda."
"Udahlah untuk apa lagi disesalin, emang Linda jodohnya sama gue."
"Anjing lo."
Mezian tertawa, sudah berselonjor santai di sebelahnya.
Joshua menghela napas, menatap ke arah langit. "Gue ... dulu punya pacar. Dia selingkuh sampe hamil dengan kawan gue sendiri." Joshua juga tidak tahu mengapa ia memberitahu Mezian soal ini. Padahal sebelumnya, Joshua selalu menutup rapat kehidupan pribadinya. Memberi garis tak kasat mata pada semua orang agar tidak terlalu dekat. Enggan menaruh percaya pada siapa-siapa.
Yang Joshua tidak sangka adalah reaksi Mezian setelahnya. Laki-laki itu justru tertawa, terpingkal-pingkal. Sesekali menoleh ke arahnya, menatap tak percaya. Lalu kembali melanjutkan tawa seolah Joshua baru saja melucu untuk menghiburnya.
"Plis jangan dilanjutin, gue geli dengernya." Mezian bangkit setelah tawanya berhenti.
Joshua yang masih belum bergerak dari tempatnya itu mengulum senyum, merasa bodoh. Hingga kemudian Mezian yang dikiranya sudah masuk justru menepuk pundaknya sekali.
"Lo pasti ketemu cewek yang lebih baik nanti, tapi itu bukan Linda karena dia punya gue."
Joshua akhirnya tertawa.
"Gue mau masuk. Lo masih mau ngegalau di sini?" lanjut Mezian lagi.
Joshua hanya mengangguk. Melambaikan tangan pada Mezian, memberikan kode agar laki-laki itu masuk lebih dulu karena ponsel di sakunya berdering panjang. Ada telepon masuk.
Papa.
"Papa lagi di hotel deket tempat kamu."
***
Joshua tidak pernah melihat papa selain di rumah. Jadi, bisa duduk berdua berhadapan di restoran hotel tempat papa menginap rasanya benar-benar aneh. Seperti terjebak di ruangan putih. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dan itu membuat Joshua cukup frustasi.
Padahal, saat Joshua melihat papa dalam setelan baju formal di rumah, papa masih terlihat seperti pria berengsek hidung belang yang suka main tangan. Namun, melihat papa dalam setelan formal yang sama, dengan seorang bodyguard—Joshua tidak tahu jika papa memilikinya—yang berdiri tak jauh di belakangnya itu berhasil memberikan pengaruh cukup besar. Setidaknya di mata Joshua.
"Papa udah beneran mirip kayak pejabat." Joshua menyeletuk ringan setelah papa meletakkan gelas kopinya.
Joshua benar-benar tidak ingin mengakui, aura pria berengsek yang selalu melekat pada papa sama sekali tak berbekas. Cara papa tersenyum membuatnya nampak ramah dan hangat. Sorot matanya membuat papa terlihat cerdas. Punggung tegapnya membuat papa seperti seseorang yang berwibawa. Seakan-akan apa yang keluar dari mulutnya bisa dijadikan petuah. Petunjuk untuk menyelamatkan umat manusia dari segala bencana.
"Gimana rasanya jadi artis, Jo?"
"Yah, nggak gimana-gimana. Memangnya papa berharap jawaban kayak apa dari Joshua?"
Sungguh, Joshua lebih menyukai papa yang kasar dan selalu mengatakan sumpah serapah dengan mudah. Dibandingkan melihat papa yang hanya duduk manis sambil bersandar, mengangguk sambil tersenyum simpul seolah sedang memaklumi perbuatan anaknya yang nakal.
"Seharusnya kamu tahu diri, Jo. Dengan masa lalu yang kamu punya, jadi artis bukan pilihan bijak, 'kan?"
Joshua tidak tahan untuk tidak tertawa. Pada akhirnya papa tetaplah papa. Tidak ada topeng yang mampu menutupi keberengsekannya meskipun dia berusaha kuat agar terlihat layak sebagai seorang calon kepala daerah. "Seharusnya papa juga tahu diri. Papa punya selingkuhan, punya aku yang dulunya bermasalah, dan punya Jonathan yang meninggal gantung diri." Joshua tercekat ketika membicarakan tentang si cacat, sejenak ia tidak bisa melanjutkan. "Kenapa papa mau jadi kepala daerah? Apa tujuan papa?"
"Ternyata kamu cuma jago berantem ya, Jo." Papa tertawa pelan, memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Papa udah nggak ada waktu, jadi papa akan kasih nasehat sekali lagi. Jadi terkenal, bisa jadi bumerang untuk kamu. Lebih baik kamu berhenti sekarang sebelum terlambat."
Joshua tertawa, menghentikan papa yang baru saja beranjak dari kursinya. "Sebelum orang-orang akhirnya tau aku anak papa?" Joshua mendongak, menatap ke arah papa yang masih menunggunya. "Dari kasus aku aja, pasti udah jadi skandal besar untuk papa. Apalagi kalo hubungan dengan selingkuhan papa juga ketauan, kan?" Joshua mengela napas, sedang mempertimbangkan kalimat selanjutnya.
"Bisa nggak kita hidup dengan tenang, Pa? Aku akan berhenti dan papa nggak nyalon jadi kepala daerah. Aku akan cari kerja setelah lulus, tetep tinggal di sini, dan papa tetep di sana."
Raut wajah papa sudah berubah. "Seharusnya papa buat kamu kayak Jonathan biar kalo ngomong sama orang tua itu tau diri."
Papa berlalu pergi. Meninggalkan Joshua yang tidak berkutik di kursinya, menatap Jonathan yang berdiri jauh di sudut ruangan.
Sekarang Joshua yakin, ikatan di antara mereka itu memang nyata. Ada kegetiran saat mereka saling tatap walau hanya sejenak. Hingga akhirnya Jonathan lebih dulu berbalik, dan menghilang.
***
Sekujur tubuh Joshua dibanjiri peluh. Kedua telinganya berdenging dijejalkan suara teriakan yang mampu mengoyak indera pendengaran. Sambil menekan telinga dengan kedua telapak tangan, Joshua membuka mata, memandang sekeliling. Seketika kakinya menjadi lemas, tubuhnya bergetar hebat dengan detak jantung bertalu cepat.
Joshua pernah ke tempat ini ... dengan tubuh Jonathan.
Segera ia menunduk, melihat kedua kakinya yang ... normal. Meraba wajah seakan sedang memastikan bahwa itu adalah dirinya, dan sebelum Joshua yakin betul, tangannya sudah kembali menekan telinga. Teriakan-teriakan yang berasal dari jumlah manusia yang tidak bisa diperkirakan itu berhasil membuat Joshua tersungkur. Sambil menangis, mengais-ngais sekitar meminta bantuan, Joshua melihatnya. Jonathan yang sedang berdiri di tepi jurang. Di depan seorang ... malaikat.
Sambil terseok-seok, Joshua berlari ke arah Jonathan. Namun, selangkah sebelum Joshua berhasil meraih Jonathan, ia sudah kembali tersungkur.
"Jonathan Biru Samudra, 17 tahun, terlahir sebagai saudara kembar Joshua Biru Samudra dari pasangan ...."
Suara malaikat itu masih sama menggelegarnya seperti yang Joshua ingat. Begitu pula dengan riwayat hidup Jonathan yang sedang dibacakan.
" ... Jonathan Biru Samudra, meninggal karena dibunuh. Semoga Tuhan mengasihanimu."
Seketika, teriakan-teriakan yang mampu mengoyak telinga itu menguap. Dunia di sekitar Joshua menjadi putih. Hening. Sesak.
Joshua mengangkat kepala dengan ragu. Mendapati Jonathan sedang mengulurkan tangan ke padanya. Jonathan yang berbeda dengan yang ia lihat tadi di neraka.
"Elo ... dibunuh?"
10 Juli 2020
Bagaimana, sudah kebayang apa yang terjadi dengan Jonathan? 😂
Sebentar lagi, cerita ini tamat! Semoga kalian masih bersemangat!
Terima kasih sudah membaca!!!
Jangan lupa jaga kesehatan
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU SAMUDRA (SELESAI)
Tajemnica / ThrillerTeenfiction/Mistery Jonathan, kakak kembar Joshua itu cukup aneh. Gelagatnya seperti ada maksud lain. Sungguh tidak biasa melihat laki-laki yang kakinya cacat itu berdiri di depan pintu, menyambut Joshua pulang dengan wajah semringah. Beruntung, k...