10. Benang yang Kusut Semakin Kusut

11.8K 2.2K 181
                                    

Joshua memang tidak pernah cocok menjadi saudara kembar yang baik. Seharusnya tadi dia tidak berusaha. Seharusnya tadi dia tidak perlu berputus asa hingga mengajak si cacat itu berbicara. Sekarang, perasaan menyesal masih mentertawakannya, saling timpal dengan teriakkan bodoh dan tolol. Sungguh, Joshua muak. Perutnya mulai bergejolak.

Namun, Joshua memang bodoh. Menolak sekeras apa pun, ucapan si cacat itu bagai hantu yang bergentayangan keluar masuk telinga. Menciptakan pertanyaan-pertanyaan aneh di dalam kepala. Termasuk, kenapa Eunice terlihat sangat pucat dengan mata sembab? Bahkan masih ada jejak air mata yang belum kering sepenuhnya. Apakah dia kesakitan? Atau ada yang menyakitinya?

"Sayang? Kamu bolos?"

Joshua menatap Eunice lekat. Memperhatikan pipi yang sudah tidak lagi berisi. Beralih ke pergelangan tangan yang sudah seperti batang lidi. Menatap sekilas perut yang sedari tadi ditutupi, dan kembali melirik ke wajah dengan beberapa jerawat menghiasi ....

"A-aku nggak bisa berdiri lama-lama. Perut aku nggak enak banget. Kamu nggak mau masuk aja?"

Joshua memejam sejenak. Merutuk diri sendiri dalam hati. Tolol. Bagaimana mungkin tadi pikirannya sempat melayang sedangkan dia tahu, Eunice juga menjadi korban saat sekolah sampah itu menyerang. "Masih sakit banget? Kamu udah periksa? Atau mau aku anterin?" Baiklah, suatu hari Joshua harus memikirkan soal balas dendam kepada orang yang sudah menendang perut Eunice.

Eunice mencoba tertawa, wajah tegangnya melunak tanpa Joshua sadari. "Apaan sih kamu. Aku dapet hari pertama. Kamu nggak bawain aku coklat?"

Ah, ya. Cokelat. Obat Eunice saat datang bulan yang biasanya selalu Joshua sediakan di dalam tas. Cokelat yang tidak pernah absen di tiap siklus menstruasi Eunice karena perhitungan Joshua tidak pernah meleset lebih dari tiga hari. Namun, kali ini hitungannya salah selama lebih dari setahun mereka pacaran.

"Aku nggak tau kalo kamu dapet. Mau aku beliin sekarang?" ujar Joshua setengah bingung.

Eunice kembali tertawa, menggeleng, buru-buru menarik lengan Joshua menuju ke dalam rumah.

Joshua pasrah saja. Mengikuti ke mana Eunice membawanya.

"Kalo udah jatuh cinta itu emang bikin bego ya, Jo?"

Joshua memang bodoh. Tidak sadar kalau ada yang salah karena memang belum waktunya menaruh cokelat di dalam tas.

***

Melelahkan. Joshua hanya ingin beristirahat sejenak, atau berlari sejauh mungkin entah karena apa. Dan duduk berselonjor kaki, sambil menyandarkan kepala di puncak sofa ruang tamu Eunice, nyaris membuatnya terlelap. Benar-benar hampir membawanya melarikan diri dari kenyataan. Hanya jika kepala sang pacar yang bertumpu di lengannya dengan posisi paling nyaman itu tidak bergerak tiba-tiba, dan membuat Joshua membuka mata. Menatap ke arah Eunice yang sedang seru sendiri dengan ponsel baru yang tadi dia belikan.

Dipandangi lama jari-jari sang pacar yang sibuk menggulir layar, mengunduh beragam aplikasi, dan masuk ke setiap akun sosial media miliknya. Cukup lama hingga Joshua kembali memejam. Menghela napas pelan. Rasanya nyaman. Meskipun dalam keheningan, Joshua selalu suka. Rasa hangat yang muncul dan membuat Joshua selalu merasa pulang. Perasaan yang membuatnya rela memberikan apa saja ....

Ah, memberikan apa saja ... apakah itu artinya dia sama dengan si cacat itu?

Nggak! Gue dan si cacat itu nggak sama!

Joshua segera membuka mata, mengenyahkan si cacat itu dari kepala. Tangannya mulai memainkan rambut Eunice, bertanya dengan suara pelan, "Hape kamu yang rusak mana? Biar aku bawa ke tukang servis."

BIRU SAMUDRA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang