3. Aib

21.7K 3.4K 365
                                    

Kali ini, indra penciuman laki-laki itu bekerja lebih cepat dibandingkan penglihatannya: aroma rumah sakit. Baru kemudian ia membuka mata, melihat lampu di atas kepala, infus yang tinggal setengah, mama yang sedang tertidur di samping ranjang, dan si cacat yang duduk di sofa sambil memeluk lututnya.

Mengapa dia yang terbaring di sini dan bukannya si cacat?

Kening laki-laki itu berkerut, antara menahan sakit kepala dan berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum dia terbaring di ruangan VIP ini: pot tanaman yang pecah, hujan, tangisan mama, si cacat yang pura-pura gantung diri , papa yang meninjunya karena ia memukuli si cacat ... hingga si cacat dimasukkan ke dalam tanah.

Ingatan Joshua berhenti sampai sana. Sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Jonathan Biru Samudra, kembarannya yang terlahir cacat itu terbaring di dalam tanah.

Jadi, kenapa dia bisa berada di sini?

Joshua mengaduh pelan saat berusaha bangkit. Membuat mama yang tadi tertidur tersentak karena merasakan pergerakan, langsung bangkit dari kursi, dan menatap ke arah Joshua sambil mengatakan, "Jonathan?"

Joshua yang kembali terbaring karena seluruh tubuhnya lemas itu menatap mama heran. Mama tidak pernah salah menyebut Joshua sebagai Jonathan. Tidak ada satu pun orang yang salah menyebut nama mereka. Karena, Biru Samudra bukan kembar identik. Ditambah Jonathan, kakak kembarnya itu terlahir dengan kaki kiri yang tidak sempurna.

"Ma?" panggil Joshua akhirnya karena mama masih diam, seolah pikirannya sedang berkenala entah kemana meskipun matanya menatap lekat ke arah Joshua.

"Oh, Joshua ... Joshua udah sadar? Mama panggilin dokter ya?"

Joshua menahan lengan mama, menatap wanita dengan darah mengering di sudut bibirnya itu tajam.

"Kenapa Joshua bisa di sini?"

Mata mama tiba-tiba menggenang. Wanita itu sudah kembali duduk di kursi samping ranjang. Balik menggenggam tangan Joshua, menciumnya dan menenggelamkan wajah di sana.

"Joshua tiba-tiba pingsan pas Jonathan dikubur kemarin. Orang-orang bilang katanya Joshua shock. Tapi, Joshua nggak bangun-bangun. Makanya mama bawa ke rumah sakit. Mama takut ... karena orang-orang bilang anak kembar itu punya ikatan batin yang kuat. Orang-orang bilang Jonathan mau ajak Joshua pergi. Mama mimpi Jonathan mau ajak Joshua pergi ... mama takut ...."

"Cacat itu mati?"

Mama tidak menjawab, justru menangis semakin kencang.

Untuk sesaat, Joshua merasa jiwanya melayang, teratung-atung di udara, berusaha mencari di mana tubuhnya berada. Hingga laki-laki itu menoleh, mendapati Jonathan yang tadi sedang meringkuk di sofa sudah berdiri, menatapnya. Dilihat dari mana pun, dilihat selekat apa pun, laki-laki itu, si cacat yang sedang berdiri menatapnya itu, tidak tembus pandang seperti arwah, atau roh, atau apalah sebutannya. Si cacat itu terlihat solid, dengan kedua kaki yang menjejak tanah. Berdiri sempurna seperti orang normal.

Ah, ya ... kakinya.

Jadi, si cacat itu benar-benar sudah mati?

"Jo, ternyata mati itu enak. Kamu mau ikut aku nggak?"

***

Jika saja tulang-tulangnya tidak terasa seperti mi instan yang dimasak terlalu matang, Joshua sudah bangkit untuk menghajar si cacat yang sedari tadi tidak berhenti berjalan di sekitar ranjang, yang sesekali berjingkrak, sesekali berlarian dengan wajah kesenangan seperti anak kecil yang baru bisa berjalan.

"Ternyata enak ya, Jo ... punya kaki yang bisa diajak lari-lari."

"Bisa nggak sih lo pergi langsung aja ke neraka kalo emang udah mati?" Joshua berkata kesal. Melihat Jonathan membuat kepalanya semakin sakit, atau justru keberadaan si cacat yang membuat dia sakit?

"Ya, Jo. Memang aku yang buat kamu sakit. Sayangnya, aku belum bisa pergi karena kamu harus-"

"Woy, Biru!"

Joshua dan Jonathan menoleh bersamaan ke arah pintu ruangan yang baru saja terbuka. Teman-temannya itu muncul di sana.

***

"Lo bisa sakit juga, Njing?"

Joshua hanya terkekeh kecil. Temannya yang barusan bertanya tadi sudah mengambil jeruk di atas nakas, dan kembali duduk di dekat kaki.

"Kalian bolos?"

"Terpaksa, soalnya jam kunjung lo pas lagi sekolah. Cewek-cewek ini nggak bisa kalo diajakin jenguk nanti malem," jawab temannya yang lain.

"Ngotak lo, terpaksa. Padahal paling seneng pas diajakin bolos."

"Kalian tau gue di sini dari mana?"

"Dari nyokap lo. Nyokap lo ngasih tau cewek lo. Katanya-"

"Terus, mana cewek gue?"

"Emang gengs, Biru ini cuma butuh ceweknya. Nggak butuh kita-kita ... nah, itu panjang umur."

Joshua ingat, dulu saat dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan perempuan yang baru saja masuk ke ruangannya itu adalah saat ia sedang berjalan masuk ke kelas, sambil tertawa renyah. Joshua ingat, dulu ketika dia meminta perempuan yang sudah berdiri di samping ranjang dengan mata sembab untuk menjadi pacarnya itu, ia justru tertawa karena menganggap Joshua main-main saja.

"Kamu sampe masuk rumah sakit, tapi nggak ngabarin aku."

Sekarang, Joshua merasa bersalah. Untuk itu dia meraih tangan yang selalu terasa lembut ketika digenggam, mengusap-usapnya pelan, sambil mengatakan, "Aku nggak pegang hape."

"Dasar bucin! Dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!"

"Makanya lu jangan jomblo!"

Teman-temannya itu benar. Dunia memang terasa milik berdua. Namun, kenapa pacarnya itu justru menitikkan air mata?

"Kamu kenapa nggak pernah cerita kalo punya sodara kembar?"

Tangan perempuan itu langsung dilepaskan begitu saja. Ekspresi Joshua sepenuhnya berubah. Dia menoleh ke arah Jonathan yang berdiri di belakang teman-teman. Menatap sang kembaran yang terlahir cacat dan seperti aib baginya itu dengan tajam.

"Kalian semua keluar."

3 November 2019

Terima kasih sudah membaca.

Maaf jika ada komentar yang tidak terbalas.

Cinkia Ewys

BIRU SAMUDRA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang