Makanan yang tadi memenuhi meja sudah tidak banyak tersisa. Aris masih sibuk mengunyah sesekali. Eunice sudah menyelesaikan makannya dari tadi. Sedangkan Joshua yang kehilangan selera, memilih mendengarkan keseluruhan cerita untuk melengkapi asumsi yang bergentayangan di kepala seharian ini.
Hari itu, tak lama setelah Joshua hilang kesadaran, dan Eunice yang terluka sudah dibawa pergi oleh Aris, polisi datang. Beberapa teman tertangkap, sisanya berhasil melarikan diri. Sampai sini, apa yang Joshua pikirkan benar. Namun, teman-temannya yang masih ditahan terasa janggal. Padahal yang sudah-sudah, polisi hanya akan memberikan pembinaan tiap mereka tertangkap. Paling parah pun hanya diberikan hukuman fisik. Tidak pernah sampai ditahan.
"Karena kamu anak papa, Jo. Masa lupa?" celetuk Jonathan tiba-tiba yang duduk di samping Aris.
Joshua melirik ke arah si cacat dengan dahi berkerut. Sepertinya benang-benang kusut di dalam kepala membuat Joshua tak bisa berpikir cepat. Atau setidaknya menemukan korelasi antara menjadi anak papa dan teman-teman yang masih ditahan ....
"Kita nggak pernah kena pidana selama ini karena bokap lo, Ru." Aris menyelesaikan makannya. Menjilati sisa-sisa bumbu yang tertinggal di jari telunjuk dan jari tengah bergantian. Menghela napas sebelum menyandarkan punggung, menatap Joshua yang sepertinya baru mengerti.
"Jadi, anak-anak masih ditahan karena gue nggak ikut ketangkep?"
"Nggak adil, kan? Lo yang buat mereka nyerang sekolah kita, tapi anak-anak dan sekolah yang harus nanggung akibatnya?"
Joshua sempat tidak yakin dengan nada bicara Aris barusan yang terdengar seperti bercanda. Namun setelah diteliti, wajah laki-laki itu justru terlihat sebaliknya, bahkan balas menatap Joshua tajam seolah sedang marah. Baiklah. Joshua mulai merasa tidak enak, sedikit bersalah. Seandainya dia tidak terbujuk si cacat untuk datang ke sekolah sampah itu dan—
"Jangan lupa, mereka juga yang paling ngotot mau bantuin kamu, Jo. Padahal kamu udah bilang kalo itu bukan urusan mereka, 'kan? Tapi sekarang mereka malah seenaknya malah nyalahin kamu?"
Entah kenapa, diam-diam bagian dirinya yang lain menyetujui ucapan si cacat. Mewujud serupa kelitikan di dalam perut. Bahkan nyeri di beberapa bagian tubuh kembali terasa sebagai bentuk ingatan akan pukulan yang ia terima. Bersamaan dengan raut-raut wajah marah seolah Joshua sudah melakukan hal paling seru tanpa memberi tahu mereka lebih dulu.
Lucu.
Sepersekian detik berikutnya Joshua tertawa, menggeleng geli. "Anjing. Padahal gue udah bilang, biar gue nanganin sendirian. Tapi kalian yang mau ikut campur sok setia kawan, dan sekarang malah nyalahin gue dan bilang ini nggak adil. Dasar banci."
Eunice yang sedari tadi duduk di antara keduanya, mulai merasakan ada ketegangan yang mampu memicu perkelahian. Buru-buru ia merapat ke arah Joshua. Menggenggam tangannya, memastikan agar sang pacar tidak akan melayangkan tinju. Setidaknya, tidak boleh ada perkelahian di rumahnya. "Maksud Aris nggak gitu, Sayang."
Aris sempat melengos, mendecap-decap, dan kembali menatap Joshua. "Gue serius, anak-anak bakal bunuh lo kalo yang lain nggak keluar sampe lusa."
Bajingan persetan sialan.
"Pilihannya cuma dua, Ru. Kasih seratus juta yang polisi minta, atau minta tolong bokap lo," lanjut Aris dengan tidak tahu diri.
Joshua tertawa lagi. Kali ini lebih keras. Sedikit terpingkal. Bahkan tangan Eunice sudah dia lepaskan karena memegang perut yang mulai keram. "Lo bunuh gue aja sekarang."
"Ru, gue serius." Kali ini suara Aris memelas.
Tawa Joshua mereda. Diseka air mata yang mulai menitik dengan ujung telunjuk. "Lo pikir gue nggak serius? Lo pikir ada jaminan gue nggak mati saat minta tolong bokap gue?"
"Plis, Ru. Cuma lo doang yang bisa nolong mereka."
Persetan sialan.
Joshua bangkit, meraih tas dan jaket. Bersiap pergi saat Aris menarik kasar lengannya, mencengkeram kuat, memaksa Joshua berbalik, menatapnya yang sedang memelotot tajam. "Lo harus tanggung jawab, Ru! Padahal sebelum kembaran lo mati, lo nggak pernah perhitungan kayak gini!"
"Ujungnya aku yang disalahin."
Joshua tidak memedulikan gumaman si cacat, dan balik menatap Aris. "Taik. Nggak usah mancing-mancing. Kepala gue pecah, entah gue mati atau nggak aja, kalian nggak ada yang peduli."
Sekeras apa pun Aris berusaha mempertahankan ekspresi, cengkeraman tangannya yang melonggar, dan kaki yang mundur selangkah tanpa disadari, menjadi pertanda bahwa nyalinya juga menciut. Aris terintimidasi, bahkan dengan tatapan mata, dan suara rendah Joshua.
"Gue bakal tanggung jawab. Jadi-lepasin-tangan-gue-sekarang." Kepala laki-laki itu terasa sakit. Ia hanya ingin segera pergi dan memikirkannya kembali nanti.
Setelah secara refleks Aris melepaskan tangannya, Joshua bergegas. Mengenakan jaket dan pergi. Namun, langkahnya kembali terhenti. Dia menoleh ke arah Aris yang tidak terlihat segera akan pergi, Eunice yang masih diam, dan kembali lagi menatap Aris.
"Ngapain lo masih di sini?"
***
"Pilihannya cuma dua Jo, uang seratus juta atau papa."
Papa tidak pernah ada di rumah sebelum langit gelap. Jadi, memang seharusnya tidak ada siapa pun saat ini di rumah. Namun, saat Joshua sampai ada mobil yang terparkir di garasi. Bukan mobil mama, bukan pula mobil pembantu rumah tangganya.
Bergegas Joshua masuk ke rumah yang tidak dikunci, dan melihat hal yang sama seperti tadi sebelum ia berangkat sekolah. Bedanya, kali ini tidak ada papa di sana.
"Joshua udah pulang?" Wanita simpanan papa menoleh, tersenyum ramah. "Kebetulan saya baru selesai buat puding. Kamu mau coba?"
Jika wanita itu menganggap Joshua menyukainya, ia salah besar. Jika wanita itu menganggap keramahan Joshua tadi pagi karena dia cantik, jelas bukan. Maka, tanpa perlu bertatap wajah, Joshua sudah langsung berbelok, naik ke atas tangga, melewati kamar si cacat, masuk ke kamarnya, dan segera mengunci pintu. Dia ingin memejam sebentar.
"Jo, kalo kamu nggak mau ngepet untuk dapet uang seratus juta, mending kamu turun ke bawah sekarang."
"Anjing! Bisa diem nggak lo? Gue mau tidur sebentar."
"Selingkuhan papa itu, dia ada hubungannya dengan bekingan papa di kepolisian."
Joshua langsung bangkit. Keluar kamar tanpa basa-basi.
***
"Saya pikir kamu marah sama saya."
Joshua mencoba tertawa senatural mungkin selagi memaksa kepalanya untuk berpikir. Bagaimana cara mengeluarkan teman-temannya tanpa meminta tolong kepada papa. "Tadi taruh tas dulu, Tan."
Wanita simpanan papa itu tertawa. Menyodorkan puding yang cukup besar ke depan Joshua. "Enak, nggak?"
Joshua yang masih sibuk berpikir dan menguntai kata dalam kepalanya itu hanya sanggup mengangguk. Memasukkan potongan lainnya ke dalam mulut, mengunyah, menelan dan kembali memasukkan potongan yang lain lagi. Mengulangi aktifitas yang sama sampai puding itu habis.
"Seenak itu ya puding buatan saya?"
Lagi-lagi, Joshua hanya tertawa. Keadaan menjadi canggung beberapa detik setelahnya. Apalagi wanita simpanan papa yang duduk di seberang meja itu sudah memangku dagu, menatapnya dengan bibir melengkung.
"Tante ngeliatin apa?" Bodohnya, hanya pertanyaan itu yang mampu Joshua tanyakan.
"Ternyata kalo diliat-liat, kamu mirip banget ya sama Jonathan."
Wanita simpanin papa ini bahkan sudah pernah bertemu saudara kembarnya?
"Saya masih nggak percaya waktu tau Jonathan meninggal. Padahal dia sering ngobrol sama saya tiap saya ke sini. Saya suka karena anaknya lucu, ramah, dan manis banget. Mirip papa kamu waktu masih muda."
30 April 2020
Terima kasih sudah membaca.
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Sehat terus ya teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU SAMUDRA (SELESAI)
Tajemnica / ThrillerTeenfiction/Mistery Jonathan, kakak kembar Joshua itu cukup aneh. Gelagatnya seperti ada maksud lain. Sungguh tidak biasa melihat laki-laki yang kakinya cacat itu berdiri di depan pintu, menyambut Joshua pulang dengan wajah semringah. Beruntung, k...