5. Sekolah Buangan

17.7K 2.9K 165
                                    

Perasaan aneh cenderung mengganggu itu selalu muncul, tiap kata 'kembar' berhasil masuk ke indera pendengaran Joshua. Rasanya kurang lebih seperti tertangkap basah, juga seperti ada nyala api yang dihidupkan di dalam hatinya dan mulai merambat ke seluruh tubuh.

Joshua mendesis, melirik tajam ke arah tangan yang masih mencengkeram jaketnya sebelum ditepis kuat, dan berujar penuh penekanan, "Gue nggak punya kembaran ... dan lo nggak usah sok tau."

Sekarang Joshua sudah tidak lagi berselera untuk mencari kelas si cacat. Kalau dipikir-pikir juga untuk apa? Lebih baik dia pergi dan men—

"Dasar lo pengecut."

Langkah kaki Joshua langsung terhenti. Padahal durasi pertemuan mereka kurang dari lima menit dan dia sudah berani menghinanya? Perempuan itu ternyata cari mati.

"Lo bilang apa?" Joshua tidak bisa untuk tidak terpancing. Kembali berbalik. Berjalan mendekati perempuan berponi tersebut, dan berdiri di hadapannya dengan raut wajah mengeras.

"Elo pengecut. Karena elo baru berani dateng ke sini setelah Biru nggak ada!"

Seolah tidak cukup sebutan pengecut barusan, ia mengucapkannya sekali lagi dengan sedikit penjelasan. Memang harusnya Joshua datang ke sini kapan? Untuk apa? Kenapa pula—

"Berhenti nyebut si cacat itu dengan Biru! Dan elo ... lo siapa berani nyebut gue pengecut?"

Joshua bisa melihat dengan jelas kedua ujung bibir perempuan itu berkedut. Sepertinya sedang mengambil ancang-ancang untuk menyemburkan berbagai macam umpatan lain. Namun, baru saja mulut itu terbuka setengah, pemiliknya sudah kembali bungkam begitu tamu tak diundang lain datang.

"Hey, hey, hey! Siapa ini yang berani-berani ganggu gadis kita?"

Sebenarnya, saat perempuan tadi menyebut Joshua sebagai pengecut, laki-laki itu sempat lupa bahwa ia berada di sekolah si cacat. Berada di salah satu SMA yang terpencil dan terkenal dengan reputasi buruk. Hingga kedatangan tiga murid laki-laki yang entah muncul dari mana dan merangkul perempuan kurang ajar yang belum dihajarnya itu membuat Joshua tersadar: ia sedang berada di sekolah yang berisi 'anak-anak buangan'.

Anehnya, Joshua justru terkekeh geli, apalagi ketika melihat perempuan yang tadi berani menghinanya itu justru mengkeret, terlihat berusaha lari dari sana, tetapi terus kembali ke tempat semula karena ketiga laki-laki tersebut menahannya. Seolah-olah ia adalah ... ah, tentu saja!Pasti perempuan itu satu spesies dengan si cacat!

"Ngetawain apa lo?" hardik salah satu dari mereka, yang berdiri paling kiri dengan rambut ikal dan tubuh ceking.

"Ah, nggak. Cuma—"

"Dia kembarannya Biru!" Perempuan itu memotong cepat sambil menunjuk Joshua. Seolah-olah 'kembaran Biru' memang sudah lama menjadi incaran mereka.

Joshua yang ditunjuk hanya mengerutkan dahi, menatap tajam ujung jari yang teracung di depan mata, lalu melirik ke belakang punggung perempuan tersebut, dan mendapati Jonathan di sana sedang menggigiti kuku ibu jari—kebiasaan saat sedang takut.

Lucu, pikirnya.

Selama ini, satu-satunya orang yang bisa membuat si cacat itu menggigiti ibu jari hanya papa. Joshua yang juga sering memukuli, menghina hingga mengurungnya saja tidak bisa membuat si cacat itu gemetaran. Selama ini, Joshua yakin, tidak ada yang lebih mengerikan dibandingkan papa bagi kembarannya itu. Namun, barusan si cacat itu menggigit kuku ibu jari karena ketiga preman sekolah buangan yang kerempeng, lusuh dan terlihat menjijikkan ini?

"Jadi begini bentuk orang yang disebut-sebut sama si cacat itu? Coba cek, jangan-jangan cacat ju—"

Kalimat itu tidak dilanjutkan karena Joshua sudah menarik kerah baju laki-laki yang berdiri paling tengah, memuntirnya kuat hingga tubuh kurus itu terangkat.

BIRU SAMUDRA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang