03
[???]
12 MEI 2087, Negara Charleston, ibu kota J'Neia, kediaman Collins, siang hari.
"Kau mau makan apa hari ini Stacy?" seorang wanita berdiri di depan kulkas, menelaah isinya sementara putrinya, Stacy Collins bersama ayahnya sedang duduk di kursi makan masing-masing.
Stacy terlihat buruk, dia mengurus, lingkar hitam di kelopak matanya agak terlihat jelas. Pandangannya kosong pada meja dan bahunya tidak terlihat bergerak, nyaris seperti tidak bernapas.
"Ayah sudah bilang untuk sementara situs-situs wisata memang sedang tidak dibuka, apalagi untuk lowongan pekerjaan. Maka dari itu jangan khawatir karena tidak dapat kerja saat ini, sayang," ujar sang ayah masih sambil berfokus pada korannya, kacamata berbingkai ovalnya agak merosot.
"Kita tidak tahu perang ini akan selesai kapan. Mendengar kabar dari Lex juga tidak bisa membuatku tenang," Stacy berkata dengan lemah, "ayah dan ibu juga sudah tua. Apa jadinya aku jika tidak bisa mendapatkan kerja secepat mungkin? Untuk membiayaiku, untuk membiayai ayah dan ibu yang sebentar lagi pensiun ...," Stacy menempelkan wajahnya pada kedua telapak tangan yang bertopang pada meja. Kelihatan sangat frustrasi.
Ibu Stacy, Sharon Collins, menatap prihatin pada anaknya. Ia batal masak, menarik kursi di seberang Stacy. Biarpun putrinya masih dengan depresi mengusap-usap wajahnya, ia menuntut putrinya untuk menatapnya saat ini. "Kau bisa cari pekerjaan lain untuk sekarang, yang membuka lowongan pekerjaan. Tidak usah pikirkan dulu soal ayah dan ibu yang sebentar lagi pensiun. Kita kan punya Lex, dia sudah punya pekerjaan tetap dan menyisihkan uangnya untuk ditabung jika terjadi apa-apa."
Stacy semakin dongkol, ia menatap ibunya lekat-lekat. "Lex lagi, Lex lagi kan? Aku juga ingin dianggap sebagai anak yang berguna, sepertinya! Tapi kenyataannya aku tetap tidak bisa ...."
"Stacy, kami tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan—"
Prang! Kaca jendela ruang keluarga pecah. Terdengar suara auman mengamuk dari ruang keluarga, memotong perkataan ayah Stacy, Steve Collins. Mereka bertiga kontan bangkit dari meja makan. Jeritan pun menjadi ketika menemukan seseorang dengan luka gigitan menganga di jembatan bahunya, mulutnya pun terpenuhi darah, bagian putih dari matanya juga berubah merah bercampur kuning.
Stacy yang tidak peduli dengan barang-barang di sekitarnya bergerak mundur sampai menjatuhkan kursi ruang makannya. Sementara si manusia aneh itu berlari dengan agresif menuju ayah Stacy, menggigitnya pada leher sampai pria itu memekik kesakitan.
"Ayaaaah!" Stacy dan ibunya sama-sama berteriak. Ketika si makhluk menyeramkan itu hendak menerkam Stacy, ibunya keburu menempatkan diri di depannya, membiarkan lehernya dimakan si manusia menjijikkan itu.
"Ibu! Tidaaak!" Stacy sambil berteriak menjauh dari mereka. Dia bukan tipe orang yang bertele-tele, ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar kakaknya.
Ia tahu makhluk apa barusan yang mengganggunya. Makhluk fiksi yang disebut sebagai zombie. Jika ia kanibal, dia tidak akan punya bekas gigit yang sama pada tubuhnya. Kalaupun salah, Stacy tetap harus melindungi diri sampai ia berhasil kabur dari rumah.
Laci meja belajar Lex dibuka, Stacy menemukan senjata yang disebut revolver beserta isinya. Ia memasukkan kotak isinya ke dalam saku jaket, kemudian menyiapkan diri dengan senjatanya.
Bersyukurlah pada film, dia jadi tahu cara menggunakan benda itu. Tapi dia tidak pernah menyangka bisa masuk ke situasi yang sama seperti film. Apakah ini hanya akting? Ada syuting yang melibatkan refleks natural dari orang-orang untuk dijadikan rekaman komedi? Namun satu fakta orangtua Stacy sudah terbunuh saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Age of Undead 89 [2015]
Science FictionLex dan para tentara adalah orang-orang realistis. Mereka tidak akan percaya pada makhluk-makhluk fiksi hasil mutasi berkat kecanggihan yang disalahgunakan pemilik otak genius di muka bumi. Tetapi keadaan membalik ketika makhluk-makhluk itu hadir. S...