16

2.2K 244 6
                                    

16

[STACY]

SALURAN AIR BAWAH tanah, pagi hari.

Barulah perkataan Greg menggerogoti keberanian Stacy. Dia merasakan beratnya sensasi masuk ke lubang liang lahat. Begitulah yang mereka sebut untuk lubang saluran air ini atas hasil kesepakatan. Tentu saja, banyak mayat hidup berkeliaran di sini, dan makhluk hidup manapun yang nekat masuk ke dalam sini pun akan berakhir sama.

Greg yang terakhir turun, dia kebagian tugas menutup pintu gorong-gorong kemudian turun dari tangga. Sepintas ada cicitan hati Stacy mengatakan dia ingin cahaya itu lagi. Ingin juga keluar dari sini.

Bau apak serta bau kotoran tercampur dengan aroma gosong dan tulang-belulang yang tergeletak di pijakan nyaris luluh-lantak. Saluran air kotor yang masih terus mengalir entah ke mana tak pernah Stacy pahami itu mengalirkan beberapa serpihan abu yang tersapu oleh udara lembut. Jika mengingat dulunya mereka adalah manusia dan kemungkinan warga biasa tanpa dosa terlepas dari dosa sehari-hari, Stacy benar-benar berduka cita. Mereka tak layak berakhir seperti ini. Karena Stacy pun tak mau berakhir sama seperti mereka. Kenapa dunia ini begitu kejam?

"Greg, pimpin jalan," Lex memecah keheningan di antara mereka seraya menyalakan senter kecil namun memancarkan cahaya terang-benderang sepanjang jalan.

"Hah? Kenapa aku?" bantah Greg.

"Kamu tahu jalannya, bodoh. Kalau pun Stacy tahu, aku tidak mau merisikokan keselamatan adikku," jelasnya.

Greg mendecak dongkol setelah itu. Dengan terpaksa ia melangkah duluan menuruni undakan menuju jalan kecil di sisi gorong-gorong. "Dulu aku dan Stacy juga menebak jalan sendiri," gerutunya.

Sebenarnya Stacy tidak merasa keberatan untuk memimpin jalan. Tapi dia sedang tidak ingin berdebat dengan kakaknya yang selalu memandang perempuan lebih tinggi dan terlalu protektif padanya.

Stacy melangkah di belakang Greg sedangkan kakaknya di belakangnya. "Kamu mau aku memimpin untuk berputar-putar atau mau kau yang memimpin dan sampai dengan selamat?" ketus Lex.

"He-eh, kolonel. He-eh," balas Greg sinis dan bisa didengar dia bersungut-sungut dengan suara bisikan. Kalau kondisinya tidak seperti ini Stacy pasti akan meledeknya habis-habisan. Tukang ledek, adalah gelar yang ia ciptakan sendiri dan menjadi tren kalangannya untuk menyebutnya, namun dia punya rasa bangga tersendiri akan hal itu.

Sesudah lama berjalan dan tak menemukan apapun, tiba-tiba mereka mendengar suara terseok-seok secara paksa dengan geraman dua laki-laki yang membentak seorang lagi yang memohon di ujung kegelapan sana. Kemudian di saat lengkungan jalan, dari balik tembok perlahan cahaya senter merambat semakin dekat.

"Matikan senternya dan mundur ke belakang!" desis Lex yang kemudian mematikan senternya bersamaan dengan Greg sehingga pandangan mendadak gelap gulita. Stacy mendengar Lex menapak mundur nyaris tak terdengar sembari merunduk, sehingga Stacy dan Greg mengikutinya memanuver ke belakang.

"Tolong jangan buang aku di sini, pak! Tolong!" suara wanita dapat mereka dengar menggema memenuhi lorong gelap tanpa seberkas penerangan sedikit pun selain dari mereka.

Langkah mereka semakin besar terdengar dan para lelaki yang memaksanya tetap berjalan terus menggeram berusaha menahan kekuatannya yang meronta-ronta. "Diam!" gertak salah satunya kemudian mendorong perempuan itu tersungkur pada undakan di seberang.

Siluet perempuan itu tak gentar untuk tetap memohon. Ia merangkak cepat bak seekor anjing yang tidak mau ditinggal majikannya kemudian merangkul tungkai sang pria yang samar-samar terlihat seperti seorang tentara berseragam beda dengan Charleston. "Tolong jangan buang saya ...," perempuan itu tetap merengek dengan sengsara, kemudian suaranya tercekat menjadi batuk berat yang sepertinya memuntahkan sesuatu. Darah, mungkin? Stacy bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi di sana.

Age of Undead 89 [2015]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang