11

2.2K 266 7
                                    

11

[LEX]

MEREKA BERHENTI DI pinggir jalan di mana lahan kosong bekas persawahan membentang di kanan dan di kiri. Tak ada malam berbintang sekalipun di alam bersih, tak ada tanda kehidupan. Hanya ada rembulan yang mengamati tajam pada setiap pergerakan mereka seperti saksi bisu.

Di saat itu, Lex membuka pintu bagasi. Belum mencapai sepuluh menit perjalanan Lex minta berhenti agar dia bisa lihat kondisi Liz. Saat ini Tommy duduk di paling sudut terdalam sementara Liz duduk di paling sudut pintu bagasi. Ia nyaris terguling jika Lex tidak menangkapnya, dan dia sudah diikat dengan tali tambang asal-asalan membuat Lex langsung memandang Tommy yang ketakutan seperti tikus disorot cahaya di tengah kegelapan.

"J-jangan sentuh Liz. Jangan ...." Dia menggigil hebat sambil meringkuk jauh di sana.

"Kau yang mengikatnya?" tanya Lex tanpa menyingkirkan tangan dari Liz yang memejamkan mata. Kulitnya memucat dengan tonjolan-tonjolan urat berwarna hijau pucat serta lebam abu-abu menuju ungu di sekujur tubuhnya, membentuk bercak. Darah terus menyiprat setiap kali ia terbatuk biarpun halus sekalipun.

Tommy mengangguk pelan.

"Dia sudah terinfeksi, Lex. Kau, singkirkan tanganmu sebelum hal bodoh terjadi lagi," ujar Stacy dengan sedikit amarah, menatap seolah Lex bukan lagi orang terhormat baginya.

Adiknya memang seperti itu, Lex tahu. Sadar-sadar dia pasti akan menyesalinya dan perlahan bermanja-manja lagi dengannya. Tapi perkataannya itu benar. Lex menguatkan lilitan tali tambang tersebut kemudian menyandarkan Liz pada sisi bagasi.

"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang? Di antara kalian pasti tidak ada yang mau ... membuangnya kan?" tanya Lex hati-hati.

Stacy tidak menjawab, Tommy pun diam. Tetapi anak laki-laki itu keburu menjawab sebelum Lex mengambil keputusan. "Jangan buang Liz. Kumohon," lalu ia mendekat.

Tak terbayangkan nasib anak perempuan ini, yang mungkin masih berumur enam sampai tujuh tahun. Akankah dia berkeliaran di sini sebagai zombie belia dan sama sekali tak pantas untuknya?

Lex berpikir, ini semua salahnya. Tetapi dia tak bisa membiarkan emosinya merajalela, tak ada yang suka seseorang menyalahkan dirinya. Terkecuali jika itu memang salahnya.

Stacy tiba-tiba menyikut pinggang Lex, "bukan salahmu, Lex. Bukan."

"Iya, aku tahu. Maaf," dia menghela napas. Stacy sudah tahu bagaimana kondisi yang menyebabkan kecelakaan ini sehingga Stacy berhenti untuk menyalahkan kakaknya, biarpun dia masih kelihatan menganggap kakaknya ini adalah Si Besar Bodoh.

"Tommy. Keputusan ada padamu," Lex pun menoleh padanya.

Tommy dengan wajah pucat pasi terus memandang sepupunya. Liz bukan adik dari satu orangtua yang sama, tetapi dilihat dari kedukaannya yang terdalam, sepertinya dia sangat menyayangi Liz seperti adik di satu keluarga sendiri. Dia menggeleng pelan, mungkin tak sadar kilatan bulir air mata baru saja menetes dari matanya. "Aku tidak mau Liz dibuang. Memangnya dia tidak bisa disembuhkan?"

Stacy menggeleng pelan. "Tak ada yang bisa mengembalikan sel yang bermutasi dan membusuk. Beribu-ribu sel yang bermutasi dan membusuk. Yang bisa dilakukan hanya mencegah. Cepatlah buat keputusan, Tommy. Sebelum Liz bangun."

Tepat saat itu kepala Liz terangkat dengan mata membelalak, menggetarkan sorot cahaya senter yang dipegang Stacy. Dia menjerit parau, dan belum apa-apa mulutnya sudah terlihat membusuk. Dia meronta-ronta hebat dengan kaki menendang-nendang ingin lepas dari jeratan sementara kepalanya menggeleng liar, bahkan Lex khawatir kepalanya akan patah.

Age of Undead 89 [2015]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang