Chapter 6

6.7K 551 9
                                    

Tidak kuperhatikan bocah lelaki itu tapi saat kudengar suara erangan marah darinya membuat aku mengalihkan pandanganku dari es krim yang sedang menjadi pusat mataku. Aku mengerut melihatnya. Azka sedang berkutat dengan es krimnya yang belum terbuka sama sekali. Aku tertawa karenanya.

Sejak tadi aku sudah memakan es milikku sendiri tapi Azka bahkan belum mencicipi satu tetes es miliknya. Aku bukanlah teman berjalan untuk anak kecil. Ketidakpedulianku membuktikan semuanya. Salah Azka sendiri, dia yang membuat aku memperlakukan dirinya seperti orang dewasa. Karena tingkahnya. Tapi sedewasa apapun dia bersikap. Watak kekanakannya masih saja tidak akan hilang. Buktinya adalah dia yang bahkan tidak bisa membuka es krimnya sendiri.

Kusodorkan tanganku pada bocah itu. Dia terlihat enggan. Pastinya dia tidak mau membuat aku menatapnya dengan remeh tapi dia memang tidak memiliki pilihan. Esnya tidak akan bertahan lama demi menjaga egonya tersebut. Jadi dia mengalah. Memberikan aku mangkuk es itu dan kubuka dengan segera, lalu kuberikan padanya setelahnya.

Tidak ada kata terimakasih darinya. Dia bertingkah seolah bantuan yang aku berikan tidak pernah terjadi sama sekali. Sungguh cara berkelit yang tidak buruk, dia pandai melakukannya.

"Siapa perempuan itu?"

Aku mengalihkan lagi pandangan. Menatap dia yang bertanya dengan suara berat di karenakan es yang ada di dalam mulutnya. Bagusnya dia menelan dulu es itu dan bertanya tapi sepertinya dia tidak sabaran sama sekali.

"Seorang teman."

"Kenapa kau menyakitinya jika dia temanmu?"

"Dia menangis karena dia menyakiti dirinya sendiri. Hanya kebetulan saja aku ada di sana." Jelasku yang kuharap akan dia mengerti.

Dia mengangguk dengan kuat. Aku meringis karena dia memakan es krimnya dengan cara yang buruk. Seluruh pipinya terkena es dan terlihat lucu saat tangannya juga yang memegang sendok ikut kena. Sikap dewasanya telah lenyap di ingatanku dan yang ada dihadapanku saat ini hanya bocah kecil yang butuh bantuanku untuk membersihkan dia.

Kuambil tisu di meja dan mulai. Pipinya dan juga mulutnya yang belepotan. Mata kami bertemu dan lagi-lagi harus ku pertanyakan diriku di mana aku bertemu dengan mata yang sama persis dengan mata bocah ini. Sangat familiar tapi juga terasa amat sangat asing. Membuat aku terus menatap mata Azka untuk kuyakinkan diriku kalau mata itu memang asing atau tidak.

Kutarik tanganku setelah wajah bocah itu bersih. Kembali menyibukkan diri dengan es milikku, di mana setiap sendokannya terasa melegakanku. Aku suka es krim dan beruntung bagiku karena teman berjalanku juga menyukai hal yang sama denganku. Membuat aku tidak bisa menahan kelegaan karena sememangnya saat ini aku membutuhkan es dan seorang teman. Azka memenuhi inginku itu.

aku menatap Azka dan kutemukan dia sudah terdiam dengan tangan yang terus mengaduk esnya. Aku memegang bahunya untuk menarik perhatian Azka. Kupikir ada yang salah dengannya? Mungkinkah aku ada menyinggung hatinya atau ada caraku yang salah padanya.

"Apa yang membuatmu terdiam?" Kuutarakan tanyaku yang dipenuhi dengan sebuah rasa keingintahuan. Azka terlihat memilliki mendung di matanya. Keceriaan yang di tampakkan matanya di detik pertemuan pertama kami kini lenyap. Jika aku tidak salah menduga, keceriaan itu hanyalah kamuflase saja. Dia mencoba membuat cangkang di dalam dirinya.

Azka menggeleng untuk tanya yang aku lontarkan. Membuat aku yakin kalau memang ada hal yang buruk terjadi padanya. Aku tidak tahu seburuk apa tapi aku tidak suka mendung itu terlihat.

"Kau tidak ingin bercerita atau memang aku yang tidak pantas mendengar ceritamu?" Cobaku lagi.

Dia mengangkat pandangan dan kutemukan matanya yang indah berkaca-kaca. Aku terkejut. Kupegang pipinya dengan lembut untuk menenangkan dia dan yang terjadi selanjutnya adalah dia yang memelukku. Membuat aku menatap sekeliling kalau-kalau ada yang memperhatikan kami di pinggir tempat tongkrongan ini. Tapi rupanya semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku membalas pelukan Azka yang terasa amat sangat rapuh. Membiarkan saja kepala bocah lelaki itu bersandar di dadaku. Dia membuat aku mengingat diriku yang dulu.

Terjerat Pesona Om - Versi Lengkap Di PlaystoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang