Chapter 10

4.9K 414 29
                                    

Kemarin aku lupa up masa.. gak ada yang ngingetin ih. Cerita ini up setiap hari Senin ya. Huh

***

Happy reading

Beberapa hari berlalu dan kebahagiaan masih berpihak padaku dengan hebatnya. Tidak pernah ada gangguan untuk kebersamaanku dan Arthur. Pria itu juga sehangat mentari dan senikmat keju Turki. Aku menyukai setiap caranya. Dia romantis. Setiap datang ke kamarku, akan selalu ada bunga di tangannya juga sekotak coklat. Aku tidak tahu kalau dia memang sering melakukannya atau hanya melakukannya untuk itu. Tapi bagiku dari segala apa yang kerap dia bawakan untukku, hanya dirinya yang paling berharga. Dia cukup hanya membawa tubuhnya kehadapanku dengan mata penuh cinta. Maka itu cukup.

Tapi kebahagiaan selalu memiliki bayang-bayang di belakangku. Seperti yang aku rasakan pada Arthur, sepertinya pria itu hanya setengah dari rasaku padanya. Lebih banyak tanda tanya dikepalanya padaku.

Tanda tanya yang tidak pernah dia suarakan dan dia buat dirinya bungkam pada keadaan kami. Aku ingin mendengar Arthur bertanya. Tapi aku juga takut kalau Arthur telah bertanya. Aku ingin mendengar apa yang begitu mengganggu Arthur pada pandangannya yang kelam. Tapi aku juga takut kalau gangguan itu adalah diriku, masalalu. Masalalu yang sepenuhnya belum aku tinggalkan.

Hingga suatu ketika, di sore hari yang cerah. Di mana kudapati diriku masih berselimutkan bahagia. Datanglah masalah yang sesungguhnya. Yang sampai detik ini belum kumiliki cara yang tepat untuk mengatasinya. Masalah itu berbentuk sesosok wanita yang bernama Deborah.

Deborah berdiri di depanku setelah dia mengetuk pintu apartemenku. Aku menunggu kedatangan Arthur yang akan mengajakku makan malam bersama, tapi rupanya Deborah yang lebih dulu datang padaku.

Bibir wanita itu merah. Makeup yang dia pakai juga tebal. Entah mau pergi kemana dia hingga berdandan setotalitas ini.

“Deb.” Sapaku.

“Boleh aku masuk, Anditha. Ada yang harus kita bicarakan dan selesaikan.”

Wanita ular seperti Deborah, melihat dia tersenyum saja membuat aku merinding. Aku takut dibalik senyum itu akan ada seribu tipu muslihat yang sedang coba dia berikan. Entah bagaimana aku berakhir bersamanya.

Aku menatap ke belakang tubuhku. Melihat isi apartemenku tapi bukan itu yang membuat aku harus menatap kesana. Kedatangan Arthurlah yang membuat aku terganggu. Aku tentu saja tidak ingin dua orang itu akan bertemu. Tidak akan pernah kubiarkan hal itu terjadi.

“Kita bicara di tempat lain Deborah.” Pintaku.

Dengan segera aku keluar dan hanya membawa jaket untuk menutupi dingin sore di Ufa. Deborah menurut dan tidak bicara. Hanya mengikutiku saja. aku masuk ke mobilnya yang masih terparkir di depan apartemen. Kupandang apartemen milikku, aku hanya sebentar Arthur. Tunggu saja aku. Biar kuselesaikan ini semua dan setelahnya kita lihat apa keputusan yang bisa kuambil. Pergi darimu atau tinggal denganmu. Itupun jika kau ingin aku tinggal.

Deborah membawaku ke restoran terdekat dari apartemenku. Kami duduk di tempat paling pojok. Memesan dua gelas minuman hangat dan memulai pembicaraan. Aku yang memulainya karena aku tidak ingin Deborah berharap.

“Aku akan keluar dari pekerjaan ini, Deborah. Aku sudah berpikir terlalu banyak dan hanya keluar yang bisa membuat aku merasa tenang.”

Aku menunggu reaksi Deborah tapi hanya ketenangan yang aku dapatkan. Kupikir Deborah akan langsung menatap aku dengan mata tajam dan juga memberikan aku seribu pembendaharaan kata yang akan membuat aku sakit kepala. Tapi ketenangan Deborah malah membuat segalanya menjadi aneh bagiku. Ini bukan reaksi yang akan aku tahu ada padanya. Apa yang sebenarnya dia rencanakan.

Terjerat Pesona Om - Versi Lengkap Di PlaystoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang