Chapter 8

5.6K 525 35
                                    

Tidak bisa lagi kujabarkan perasaanku saat ini atas apa yang dilakukan Arthur padaku. Pada caranya membawa aku dengan menggendong aku dan terlihat oleh setiap mata yang ada di apartemen kami. Mungkin jika mereka melihat wajahku yang memar, mereka akan berpikir dengan berbeda kenapa sampai ada seorang pria yang menggendong seorang gadis masuk ke apartemen.

Namun aku telah menyembunyikan wajahku dengan aman di dada Arthur. Tentu saja alasannya adalah rasa malu itu sendiri. Bukan karena aku ingin orang lain berpikir berbeda dengan apa yang terjadi padaku dan Arthur. Sungguh ini bukan cara yang bijak untuk mengatakan pada dunia kalau Arthur akan sedekat ini denganku.

Aku ingin tanah menelanku saja.

"Menurut Om, berapa tahun yang di butuhkan agar setiap mata yang melihat kita ini akan lupa dengan apa yang dilihatnya?" Aku bertanya pada Arthur setelah kami sampai di dalam lift dan menuju ke lantai milikku. Di mana lift itu hanya berisi kami berdua.

Arthur menurunkan pandangannya dan dapat kulihat mata menghipnotisnya yang membuat aku seolah tertelan di kedalaman mata tersebut. Bagai ada labirin yang menghisap aku masuk dan kerongkonganku terasa mengering dengan apa yang kulihat. Aku mengalihkan pandangan. Kalah oleh adu pandang yang di layangkan Arthur.

Aku berdehem. Suhu di dalam lift membuat aku gerah sendiri.

"Tidak perlu menunggu tahun. Biarkan mereka berpikir semau mereka, Andien. Yang penting semua ini hanya antara kau dan aku."

Suara Arthur entah mengapa terdengar berbeda. Dia terasa lebih intim dan aku takut kalau aku telah sangat terbawa suasana hingga aku mendengar Arthur dengan cara yang berbeda. Aku tidak ingin berharap tapi harapan selalu menjadi musuh abadiku jika itu sudah menyangkut Arthur.

Suara dentingan lift terdengar, aku bersyukur karena lantai milikku tidak terlalu memakan banyak waktu untuk sampai. Jadi aku tidak perlu terlalu lama berduaan dengan Arthur di dalam lift yang seakan mencabik habis jantungku.

Andai hanya tatapan Arthur yang mengangguku, tidak akan menjadi masalah besar tapi suara pria itu yang membuat aku bertambah buruk saja. Bagaimana bisa Arthur berkata dengan cara setenang itu menyangkut kami berdua. Hanya antara aku dan dia katanya. Wah, jenius. Jika Arthur ingin membuat aku mati berdegup maka dia telah amat sangat berhasil.

Kami sampai di depan pintu apartemen milikku. Aku menunggu dia menurunkan aku tapi dia diam saja. mataku meliriknya dan dia sedang menatap pintuku dengan tenang. Aku yang tidak sabaran.

"Arthur turunkan aku." Pintaku pada akhirnya. Menyerah menunggu dia menurunkan aku yang entah kapan.

"Tekan sandi kamarmu, Andien."

Aku melongo. Bibirku ternganga. "Om."

"Kita akan melakukan ini sampai kau menekan sandi pintumu, Andien. Aku tidak keberatan melakukan ini."

Beberapa orang berjalan di belakang Arthur dengan tatapan penasaran kearah kami. Aku malu setengah mati dan berakhir dengan mengalah dan menekan sandi kamarku. Membuka pintunya dengan tanganku yang bebas dan Arthur masuk tanpa sungkan.

Kadang ingin kuraih topeng ketenangan di wajah pria ini. Hari ini sabarku diujinya.

Arthur meletakkan aku di sofa merah milikku. Aku menahan ringisan saat Arthur melakukannya. Tidak ingin membuat Arthur semakin menambah kepeduliannya padaku. Sekarang saja jantungku hampir meledak olehnya.

Setelah Arthur melepaskan pegangannya dariku dan dia buat aku duduk senyaman mungkin, pria itu dengan gampangnya berlutut di dekatku hingga aku harus menahan dia melakukannya. Tapi Arthur memang tidak akan pernah mempan dicegah. Dia memiliki pikirannya sendiri dan tidak akan ada yang bisa masuk dalam pikirannya itu.

Terjerat Pesona Om - Versi Lengkap Di PlaystoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang