Trembling
•________________________•
Author POVButiran demi butiran, kepingan demi kepingan bola air membeku mulai turun memenuhi seluruh dataran rendah hingga pesisir pantai daerah kekuasaan sang Lord. Daun-daun pepohonan telah terlepas dari tangkainya terlebih dahulu sebelum para salju menutupinya. Seluruh ikan-ikan perlahan menjauhi permukaan danau dan laut, seakan tahu bagian itu akan segera berubah menjadi bongkahan es yang cukup tebal—tentu mereka tak mau membeku di sana.
Hal yang sama turut diikuti oleh seantero warga desa yang mengelilingi kerajaannya. Mereka mulai menyalakan perapian dengan kayu gelondong yang telah di tebang dan dibagikan sebelum musim dingin datang—pada tempo bulan lalu. Kepulan asap berwarna jelaga, layaknya tinta sotong memenuhi langit—secara bersamaan, menghiasi siang hari yang ditutupi awan-awan tebal bergandengan tangan. Ini akan menjadi malam yang dingin.
Lain halnya dengan para warga yang ringan tangan menyambut datangnya musim dingin di bulan Oktober, sepertinya sang Lord tak dapat merasakannya tahun ini. Setelah ditimpa musibah kehilangan sang ratu, wanita yang dicintainya sepenuh hati—yang tak diketahui oleh penduduknya. Sekarang adik kandungnya juga menghilang, tidak tampak sama sekali batang hidungnya. Astaga, baru berapa minggu ia di sini—sekarang sudah hilang tanpa kabar.
Beruntung sang Maid telah memberitahunya terlebih dahulu, sebelum sang Lord terus memojokkan Luke, asistennya. Namun, itu bukanlah kabar baik untuknya. Melainkan menambah beban masalahnya sesudah lelaki berambut pirang itu mulai curiga mengapa ia tak dapat merasakan hawa sang adik. Jelas ada yang menyamarkan baunya, tetapi siapa gerangan?
“Kurasa kita bisa bertanya kepada Pendeta.” tegasnya.
Tanpa berbasa-basi Archard kontan berlari pelan menuju ruangan sang Pendeta berada, mata merahnya menyala-nyala menandakan ia sedang marah saat ini. Diikuti oleh Luke dan Maid—sebelum sang tangan kanan memutuskan menyuruh perempuan itu untuk mengurusi hal yang lain. Bukan tanpa sebab, dengan istilah di dunia kita Luke benar-benar bete sekarang.
Para maid yang lain dan tentu butler terheran-heran dengan sikap terburu-buru sang Lord. Pikiran mereka mulai dihantui oleh pertanyaan, mengapa? ada apa? bagaimana bisa? sesekali lelaki bertubuh jangkung itu bertanya kepada mereka apakah Pendeta hari ini dapat ditemui atau tidak. Banyak yang menggangguk, banyak juga yang menggeleng karena tak tahu. Yah, harus Archard sendiri yang menemuinya sendiri.
Sudah di pertengahan jalan, tiba-tiba saja langkahnya terhenti.
Luke hampir saja tertabrak lantaran Archard berhenti mendadak di tengah lorong yang sempit—dengan lebar lima meter saja di antaranya, rupanya ia telah menemuinya terlebih dahulu tanpa harus menuju ruangannya.
“Pendeta, aku membutuhkan bantuanmu tol—“ ucapannya terpotong. Sambil menutup bukunya, sang Pendeta seakan tahu apa yang ingin dikatakan oleh Archard. Dengan wajah penuh harap dirinya menunggu balasan lelaki di depannya ini, yang mengenakan pakaian khas Pendeta dengan jubah panjangnya, jenggot putihnya, dan buku tua miliknya.
“Maaf memotong pembicaraan Anda, Lord Archard. saya—“
“Pendeta, sekali lagi aku minta bantuanmu untuk mencarikan adik kandungku yang hilang ia—“
“—Baik, saya tahu apa yang Anda inginkan. Akan tetapi, mohon—“ ucapnya tertatih-tatih, bak seseorang yang tengah menahan sesuatu.
“Ayolah, aku mohon Pendeta. Saya akan berikan apapun yang Anda mau!” sergahnya menepuk bahu kanan lelaki separuh baya itu.Wajah sang Pendeta begitu tak mengenakkan untuk dipandang. Luke mulai curiga. Sedangkan, Archard kontan melepaskan tangannya yang menempel. Tanpa sepatah dua kata, lelaki yang kerap di sapa, Charles ini segera berlari tunggang langgang seraya memegang bokongnya.
“—A-aku ingin ke kamar mandi sebentar.” ucapnya sambil berlari dan hormat sejenak menuju ruang kecil.
Luke hanya diam. Sedangkan, sang Lord hanya terdiam seribu bahasa.
°•••••••••••°
“Baik, apakah saya bisa lanjutkan, Pak Pendeta?” ucapnya dengan penuh penegasan sebab sudah tak sabar. Yah, Archard takkan seperti ini jika saja Charles, si tua bangka itu berada di kamar kecil satu jam lewat. Wajahnya sudah kusut seperti benang yang tergulung-gulung.
“Ekhm. Baik, Lord. Ada apa hingga kau tergesa-gesa menemuiku?” tanyanya sekali lagi tanpa mengurangi kehormatannya kepada satu-satunya Lord termuda di West Britanian Castle.
Archard dengan cepat kontan menceritakan permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini. Ia sudah frustasi kehilangan Teresa, dan sekarang kehilangan Arthur. “—jadi begitu ceritanya. Kumohon bantu kami, Pendeta”
“Sudah kutemukan.” ucapnya seraya menutup bukunya.
“ce-cepat sekali.” celetuk Luke pelan.
“Benarkah? Lalu di mana mereka sekarang?”
“Aku punya kabar baik dan kabar buruk juga. Pertama, kabar baiknya keberadaan mereka sangat dekat. Mungkin saja mereka sudah saling bertemu. Kemudian, kabar buruknya baik Arthur ataupun Queen Teresa tengah di sandera oleh penyihir bernama, Lazlo Maxrange.” jelasnya dengan sangat akurat. Entah bagaimana caranya, walaupun hanya terdengar omong kosong belaka, Archard sangat percaya akan hal itu.
Luke semakin tak nyaman dengan hal ini.
“Terima kasih banyak, Pak Pendeta.” ia bangun dari kursi dan beranjak meninggalkan ruangannya yang diikuti sang tangan kanan.“Jujur aku penasaran dari mana ia bisa mengetahui semua hal dengan jelas. Padahal dia buta, kan ...” bisik Archard dengan wajah konyol memalingkan wajahnya kearah Luke di belakangnya sambil menutup ruangan sang Pendeta, Charles.
Luke tak mau menanggapinya. Ada masalah yang lebih buruk dari pada memikirkan si pendeta tua ini benar-benar buta atau tidak. Sudah tiga hari sejak kepergian Arthur dan sudah dua minggu lebih Ratu mereka tak kunjung kembali. Saat sudah seperti ini, biasanya ia akan berbincang-bincang dengan Letnan Marshall, ketua angkatan keamanan di kerajaan ini untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, sia-sia saja. Membayangkan sosoknya sudah membuat Luke bergidik ngeri—seakan tak percaya apa yang telah lihat dengan mata dan kepalanya sendiri.
“Tak perlu, membahas orang yang sudah meninggal. Ya, kan?” celetuk Archard yang kini tak lagi memalingkan wajahnya dan terus berjalan entah ke mana.
Luke tersentak. Ia menunduk meminta maaf karena sudah memikirkan hal yang tidak-tidak. Jelas, sang Lord dapat membaca pikiran dirinya. Pikirannya telah mempermainkannya. Ia menghela napas, menepuk-nepuk wajahnya dan kembali berdiri tegak mengikuti langkah orang yang dirinya percaya sejak kecil.
Sayang sekali. you’re miss something, Luke. sang tangan kanan tak menyadari bagaimana ekspresi orang di depannya saat mengatakan kata “meninggal”. Yaitu, seorang yang telah puas dengan wajah menyeringai.
to be continued.
To be honest, i'm sorry. Aku benar benar the late person :(
See you on the next chapter!
21/12/19
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard Alpha [Story#1 Zegna.]
Loup-garouHighest #21 in werewolf. [End] "Mate? Aku tak membutuhkannya. Aku sudah nyaman hidup menyendiri." -Zack Christopher Witterson- "Semoga mateku kali ini adalah yang terbaik. Sudah 3 kali aku di reject oleh hewolf lain. Entah apa alasannya." -Teresa An...