Stuck Part 7: Expect the Unexpected

9.8K 1.8K 120
                                    


Gue memandang Syiana dengan speechless

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Gue memandang Syiana dengan speechless.

I never saw it coming.

Selama beberapa detik, gue nggak berkata-kata, segala macam kemungkinan berputar di kepala gue. Satu yang paling mendominasi adalah pertanyaan, kenapa dia bisa tahu? Emangnya sejelas itu perasaan gue?

Syiana memecahkan awkward silence di antara kami berdua dengan berdeham, dan menatap gue semakin intens.

Which makes me feel more awkward.

Dia mengibaskan tangan dengan santai. "Nggak usah bertanya-tanya gue tahu dari mana dan nggak usah nyalahin Edyta juga." Katanya sambil tersenyum—mematikan. "Bukannya gue geer atau gimana, tapi gue kan punya perasaan, Ham. Yang paling susah menurut gue adalah mencoba untuk nggak memberikan tanda-tanda yang misleading. Karena biar bagaimana pun, you're my best friend's brother—yang udah gue anggap kakak sendiri. Dan gue nggak mau hubungan kita jadi nggak enak."

Gue menelan ludah. Ini lebih parah dari pada perasaan di-friendzone sama cewek. Lebih parah lagi karena Syiana ngomong dengan nada yang begitu santai. Seolah lagi ngobrolin cuaca di luar yang lagi panas banget.

"Don't get me wrong, Ham. Gue mengerti perasaan lo." Seolah bisa membaca pikiran gue, Syiana merespons dengan kalimat yang tepat. "Tapi ya itu, gue nggak bisa berpura-pura bahwa gue nggak tahu. Apalagi sekarang gue udah sama Ian dan gue nggak mau menyakiti kalian berdua—menyakiti Ian dengan membuat dia jealous..."

Gue mengangkat alis. Si artis cemburuan? Well, siapa sih yang nggak kalau punya pacar kayak Syiana.

Syiana tertawa kecil. "Yes, he is." Dia menyesap tehnya sesaat lalu melanjutkan. "Dan gue nggak mau menyakiti lo dengan memberikan harapan palsu. Walaupun gue nggak pernah merasa ngasih harapan juga, sih."

She's so bold. Outspoken.

Namun gue nggak pernah berpikir bahwa dia akan segamblang ini ngomong hal ini ke gue.

"Yeah. Never." Gue menanggapinya setengah bergumam.

"Makanya gue merasa bahwa mungkin ini saat yang tepat untuk ngomong ke elo." Syiana meraih tangan gue dan menggenggamnya. Pandangannya menyapu wajah gue dengan lembut. Dia tersenyum manis, "You deserve someone who loves you, adores you. Someone who would lock eyes with you across a crowded room and make the rest of the world fade into nothingness."

Gue butuh beberapa detik untuk mengerti keseluruhan kalimat yang diucapkan Syiana barusan. Dia terlihat sungguh-sungguh ketika mengatakannya.

"Yan..." gue berusaha mengatakan sesuatu, tapi sesungguhnya gue nggak tau apa yang harus gue katakan.

Gue nggak pernah merasa se-ditolak ini. Padahal gue belum menyatakan perasaan juga.

Syiana memandang gue, menunggu.

Gue menarik napas dan mengusap kepala dengan gugup. Kenapa pembicaraan jadi ke arah sini, sih? Lebih baik ini nggak pernah dibicarakan sama sekali dari pada menimbulkan situasi nggak enak kayak gini.

"Gue—gue nggak pernah bermaksud membuat lo nggak enak." Gue menghela napas. Ya udah lah, udah kayak gini, bilang aja langsung semuanya. "Gue nggak pernah berniat untuk jatuh cinta kepada elo. It just—" gue mengangkat bahu. "—happened."

Syiana memandang gue tanpa berkedip.

"Jangan tanya alasannya kenapa. Gue nggak tahu kenapa. My heart has a mind of its own, I guess." Gue melepaskan tangannya untuk menyesap kopi dengan perlahan. Dan untuk memperhatikan reaksi Syiana dari jarak yang sedikit lebih jauh. Gue nggak bisa mikir pas dia lagi megang tangan gue.

Yeah, gue noraknya kayak anak SMP jatuh cinta.

Dia hanya tersenyum—makin manis.

Brengsek banget sih. Kenapa dia kelihatan makin cantik setelah menghajar gue dengan segala macam pernyataannya barusan. Fedrian Arsjad is a lucky bastard.

"Gue juga nggak punya niat untuk merebut lo dari pacar lo," gue berdeham. "Pas dulu Yudha—atau Ian. Gue bukan tipe yang kayak gitu..."

Dia memotong pernyataan gue. "... dan elo juga pasti nggak akan pernah bilang ke gue kalau gue nggak nanya kayak gini, kan?"

Gue nyengir. Apalagi coba yang bisa gue lakukan kalau bukan nyengir?

"You know me so well, Yan." Hanya itu yang bisa gue ucapkan.

Lagi-lagi Syiana tersenyum. "Dan karena gue mengenal lo begitu baik, makanya gue tau kalau lo bisa melepaskan perasaan lo ke gue, dan mencari perempuan lain yang bisa membalas perasaan lo. Jangan bilang kalau nggak ada cewek di luar sana yang nggak mau sama elo—karena gue tahu itu bullshit." Dia tertawa kecil. "Liat aja cewek tadi, ngeliat lo dengan pandangan berbinar gitu."

Gue nggak menanggapi. Justru sekarang yang berkelebat di kepala gue adalah pertanyaan kenapa Syiana milih waktu sekarang untuk berbicara kepada gue? Padahal dia udah tau mengenai perasaan gue dari dulu.

Kenapa sekarang?

Gue membiarkan dia mengoceh. Di antara senyuman manis, kata-kata yang tajam, lama kelamaan gue bisa merasa bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Alasan yang nggak tahu apa—namun membawa dia ke sini, untuk berbicara dengan gue.

".... Gue takut banget lo nggak bisa menerima ini dan membuat semuanya jadi awkward. Gue nggak bisa ngebayangin kalau Mami jadi nggak suka sama gue karena gue mematahkan hati lo. Tapi gue tau kalau mau nggak mau gue harus menyampaikan ini ke elo—"

"Yan, what are you trying to say?" Gue langsung memotongnya. She's blabbering too far.

Syiana memandang gue dengan mulut yang setengah terbuka. Ia menyibakkan helaian rambut ke belakang telinga kanannya, diam sejenak, lalu perlahan berkata, "Gue bahkan belum bilang ini ke Edyta. Gue ingin lo tau lebih dulu—bukan apa-apa, tapi karena gue menghargai lo Ilham. Because you mean so much in my life."

Feeling gue mulai nggak enak, nih. Seandainya aja di dalam sini diizinkan merokok, hal itu bisa menekan kadar kegugupan gue.

Dia berdeham sebentar sebelum melanjutkan. "I saw this coming, tapi nggak nyangka akan secepat ini." Ia berhenti sebentar untuk menarik napas. "Ian proposed to me last night. He asked me to marry him."

Huanjing.

Hati gue rasanya kayak copot dan langsung jatuh ke tanah. Peduli setan dengan gengsi, gue tau kalau gue nggak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut (dan perih) di wajah gue.

Tapi seolah belum cukup, Syiana melanjutkan kalimatnya yang makin membuat telinga dan hati gue teriris perih. "Kami akan menikah pertengahan tahun depan."








Anybody please stop her dropping more bombs in my life.

Meet CuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang