Part 7 - Hope Crusher

12.9K 2K 103
                                    


0830 PM

Aku melirik ke arah jam di pergelangan tangan entah untuk keberapa kali dalam dua jam terakhir sambil menguap lebar.

Pukul delapan lebih tiga puluh menit.

Malam.

Bukan pagi.

Dan aku masih di kantor. Beserta setumpuk paperwork dan berpuluh-puluh excel sheet untuk dipresentasikan pada hari Senin pagi ke manajemen.

Berada di kantor jam segini itu menyebalkan.

Berada di kantor jam segini pada Jumat malam itu lebih menyebalkan lagi.

Berada di kantor jam segini pada Jumat malam bertepatan dengan Speed Dating For Charity-nya PetroWorld itu amat sangat menyebalkan.

Bubar semua rencanaku ketika pukul lima sore tadi, pak bos datang dan menjatuhkan bom tepat di tengah keramaian. Bahwa materi yang harusnya dipresentasikan hari Rabu, dimajukan jadwalnya jadi hari Senin. Tentu alasannya karena satu dan lain hal—yeah, kayak manajemen mau ngasih penjelasan aja. Jadi, tanpa perlu meminta alasan kenapa dimajuin tiba-tiba, mendingan langsung ngerjain deh. Misuh-misuh juga nggak guna. Yang ada pasti malahan tambah sebal.

Aku melirik Tita, yang tampaknya sedang fokus dengan file Powerpoint di hadapannya. Dahinya mengernyit dalam, matanya menyipit, dan bibirnya mengerucut—ini adalah tanda-tanda dia sedang berpikir dan berkonsentrasi. Rama dan Pippa, teman kantorku yang lain, tampak sudah kepayahan dan kini sedang main game melalui iPad mereka masing-masing. Kurasa untuk me-refresh otak.

Sebagai backsound, saat ini sedang mengalun Thinking of You-nya Katy Perry dari laptop Pippa. Versi unplugged. Dan terdengar miris banget di Jumat malam ini.

"Menurut lo ya, Ta, by the time kita nyelesaiin kerjaan ini, kita masih bisa datang ke speed dating-nya PetroWorld nggak?" aku meraih sekotak Pocky yang ada di atas meja ruang rapat ini. Sial, cuma tinggal dua batang lagi.

Tita berhenti mengetik dan menoleh ke arahku. Pandangannya sangat tajam menusuk. "Mesti ya gue jawab?" tanyanya sinis.

Aku menggigit sebatang Pocky, nyengir sambil mengangkat bahu.

"Menurut loooo?" nada suaranya sarkastis banget.

Aku tertawa. Tawa miris, tapinya. Sambil meraih mouse dan kembali menggerakannya menuju salah satu excel sheet tentang perhitungan—oh syit. Ini perhitungan apa yang lagi aku kerjain? Kalau otak udah overwhelmed, rasanya kayak berasap terus amnesia mendadak. Nggak inget apa yang lagi dikerjain.

"A girl can hope, Ta." Jawabku santai.

"Tapi jangan taruh harapan lo di puncak Empire State Building juga kali. Pasti nggak bakalan bisa dicapai."

Aku mencibir. Ih, sinis banget sih.

--------------

0914 PM

Aku nggak tahu mana yang lebih baik: masih lembur sampai jam segini dan nggak tahu kapan selesainya, atau mendingan pulang aja sekarang dan lemburnya dilanjutin pas weekend?

Kayak makan buah simalakama ya?

Dan ngomong-ngomong, speed dating-nya udah selesai belum ya?

Aku menghela napas.

Kenapa sih kayaknya semesta tuh suka mempermainkan nasib kita dengan kejam? Oh well, okay, kurasa lebih tepatnya yang mempermainkan nasib dengan kejam itu adalah pakbos, bukan semesta. Udah gitu pakbosnya nggak kelihatan sama sekali. Aku curiga dia sekarang lagi ngopi-ngopi di bawah sambil nungguin kerjaan kami selesai.

Meet CuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang