Bagian Sepuluh

6.6K 984 292
                                    

Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nala

Gue paling benci kalau Bian udah dapet misi.

Lo tau gak sih isi kecemasan kepala gue tuh apa? Gue gak bisa ya bayangin Bian kenapa-napa pas lagi di udara. Secara pekerjaan dia sekarang sangat akrab dengan sesuatu yang dinamakan bahaya. Apalagi pas misi pembajakan beberapa minggu lalu, pesawatnya aja hampir tabrakan dan gue gak bisa bayangin gimana jadinya Bian nanti kalau misal pesawat dia meledak di udara. Kalau boleh nawar, bisa gak sih Bian jadi teknisi aja yang kerjanya kayak Pak Angkasa? Bodo amat deh badannya bau oli, yang penting dia gak usah berurusan lagi sama hal-hal yang mengancam nyawa.

Baru aja gue bisa bernapas lega karena setelah acara lamaran malam itu Bian kerjaannya cuma meriksa pesawat-pesawat di Bengkel Sulaiman. Paling-paling dia cuma test drive gitu naik helikopter buat mastiin kalau semuanya udah baik-baik aja. Tapi hari ini, disaat gue baru punya niat buat ajak dia nonton film 6,9 detik sore nanti, gue malah dapat kabar dari Pak Angkasa bahwa ada satu pesawat asing yang masuk ke wilayah yurisdiksi langit Indonesia dan belum bisa diajak komunikasi. Tau kan apa artinya? Kalau urusannya udah sama Pak Angkasa, Bandara Husein, dan Lanud Sulaiman, sudah dipastikan Kapten Bian Naraputra akan ikut andil didalamnya.

Pekerjaan gue jadi gak fokus, rapat yang diadakan satu jam sebelum sholat Jumat untuk membicarakan pemberian imunisasi ke seluruh SD di kecamatan Andir mendadak buyar sehingga mengharuskan gue izin dari agenda rapat. Tengah hari di Jum'at siang, angkot tuh jarang banget mangkal atau lewat ke depan puskesmas sampai gue harus ngorder ojek online— itupun gue nunggu lima belas menit karena kata si mamangnya, dia masih di mesjid.

Sesampainya di Bandara, gue langsung tengok sana sini buat nyari sosok kapten TNI AU yang menjadi andalan dalam tim elit bernama Paskhas. Saat melewati kafe Bandara, gue mendengar dua suara yang amat sangat tidak asing sehingga gue bisa mengenalinya dengan mudah. Gue berjalan mendekat, Pak Angkasa sih udah sadar dengan kehadiran gue, beda sama lelaki yang memunggungi gue sekarang. Gue pengen banget meluk dia, pengen banget bilang makasih karena udah balik lagi dalam keadaan utuh di hadapan gue lagi. Tapi gue malu, apalagi di ruang publik kayak gini dan hanya berujung jewer kupingnya hingga mengaduh kesakitan. 

Memang ya, Bian Naraputra tuh paling jago bikin gue speechless sendiri. Dia cium tangan gue tanpa aba-aba, membuat jiwa bar-bar gue bangkit sampai gue kehilangan kontrol. Percaya atau enggak, dengan gak tau malunya Kanala Gianita mencium pipi Kapten TNI AU itu dibawah terik matahari parkiran Bandara Husein Sastranegara. Udahnya sih malu sendiri, tapi semua itu kalah gitu aja saat gue boncengan sama dia lalu memeluk tubuhnya seerat yang gue bisa.

Gue tau ini salah, gue tau gak seharusnya gue bersikap sefrontal ini sampai harus menangis dan memeluk tubuhnya di tengah perjalanan seperti sekarang. Tapi gue gak kuat, gue sedih dan bahagia di waktu yang bersamaan entah karena apa. Tuhan, gue beneran sayang banget sama laki-laki ini. Gue gak mau kehilangan dia, gue gak mau dia terluka, gue pengen dia terus ada didekat gue seperti saat ini untuk terus berbagi canda dan cerita.

ELEGI ANGKASA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang