1.5

14 2 0
                                    

Hari ini tepat satu Minggu sejak kejadian di depan toko. Dan aku, masih gengsi untuk menghubungi Dito. Dia juga absen menjemputku. Ya, kita belum bertemu sejak kejadian itu. Malam itu berakhir dengan aku yang dilema dan mengunci diri di kamar. Hingga menghasilkan mata sembab pagi harinya.

"Udah ketemu Dito?" Tanya Aini saat kami masuk dan duduk di kantin memesan es teh manis dan gado-gado.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Aini. "PR fisika kapan di kumpulkan? Gue masih belum kelar," aku paling bisa mengalihkan tema pembicaraan.

"Hari ini. Habis ini Lo bisa nyontek punya gue. Biasa," sahut Aini. Aku tertawa, tapi hambar.

Satu Minggu ini pula aku dan Ditto saling mendiamkan. Entah kenapa aku yang lagi nyuekin Dito, sahabat-sahabat aku juga seakan ikut mendiamkan aku. Mendiamkan dalam arti jarang ada banyolan-banyolan menjijikan seperti biasa.

Yang beneran teman itu memang suka ikut prihatin ketika sahabatnya patah hati.

Patah hati? No!!! Enak aja!!! Memangnya aku sudah putus sama Ditto? Belum kan?

"Nanti sore kita jalan ya? Weekend guys. Jalan-jalan kita nonton bareng-bareng, nongki syantik di kafe langganan."

Kafe langganan? Senyumku kecut mengingat siapa yang pertama kali mengajak ke kafe maroon. "Gue nggak ikut ya?"

"Nggak boleh! Lo harus ikut," seru Sisil.

"Gue rasanya capek, kayak nggak enak badan gitu."
"Bohong!" Kali ini Della yang berseru.
"Refreshing dear, sebelum kita UAS. Ya? Nanti Leo yang jemput pakai mobil dia."

Leo? Leo teman Dito.
Si raja tega.
Si... Sialan! Cowok sialan yang pernah aku kenal! Kenapa seakan semuanya berhubungan dengan Ditto.

Aku mendesah dan tak sadar telah mengelus liontin yang mencetak namaku. Mereka melihat gelagat ku. Doble sialan! Aku malu tertangkap basah. Tapi mereka tidak mengatakan apapun, atau berkomentar apapun. Hanya tersenyum garing lalu mengalihkan pembicaraan.

Hingga, sore pun tiba. Mereka berteriak-teriak di kamar memaksaku untuk ikut. Ya sudahlah, mereka akhirnya menang dari gadis yang tengah bergelung dengan selimut dan boneka panda ini.

"Mana leo?" Tanyaku ketika melihat mobil Della yang terparkir di halaman.

"Dia ada acara dulu sama keluarga. Nanti nyusul. Tenang, dia yang traktir ini."

Regu koor dengan spontan terbentuk dengan sendirinya. Mengeluarkan suara teriakan girang dan tepuk tangan, kecuali aku tentu saja.

Malas.

"Coklat karamel dengan toping keju yang banyak? Special buat Anne si cantik rupawan," entah kenapa Aini semenjak kemarin terlihat aneh. Dia memang suka aneh. Dia terlihat bahagia ketika hubungan aku dan Dito renggang seperti ini.

"Kenapa masih manyun ini bibir. Senyum dong, biar lesung di janggut kelihatan," kelakarnya lagi.

Aku pun tertawa dan menyeruput minumanku. " Kamu aneh Aini," kataku dan dia hanya menimpali dengan bahu yang terangkat.

Apa coba maksutnya?

"Leo udah di parkiran," kata Della yang sedari tadi sibuk dengan ponsel berwarna merahnya, disertai blink-blink berbentuk Frozen, dia kira dia mirip Elsa kali ya. Rambut aja sudah di kepang miring gitu. Dasar ini cewek memang penyuka komik dan juga cerita Cinderella dan semacamnya.

"Lo ngerasa mirip sama Sandra Dewi nggah sih?" Cetusku dan dia menoleh.

"What? Lo ngatain gue mirip artis papan atas nan cantik itu?" Nah kan dia heboh sendiri aku gombalin. Matanya terlihat bersinar.

"Lo nggak ngerasa ya Ne, gue emang ngikutin dia semua-muanya Ne. Ini nih gue lagi dibikinin baju ala-ala princess sama mama. Buat ultah ke 17 gue besuk Desember. Pokoknya gue pengen jadi Della tercantik sepanjang masa hari itu,"

"Masih jauh kali sekarang baru bulan Mei," celetuk Sisil.

"Ya makanya jauh jadi gue udah mulai nyari referensi, terus konsep buat dekorasi,"

"Ya ampun. Udah kayak mau nikah aja Lo ribet," kataku dengan kepala yang mulai menyender pada bahu Sisil.

Disaat bersamaan, aku melihat Leo masuk setelah ada bunyi gemerincing dari pintu masuk. Rambutnya yang cepak terlihat di balik pelayan kafe . Dan disusul dibelakangnya....

"Ini ide siapa?" Langsung ku tegakkan tubuh dan menatap entah kemanapun asal tidak pada leo dan Dito.

Aku gemetar.
Aku deg-degan.
Rasanya detak jantungku terdengar sangat jelas .

"Hai, sori telat. Tadi macet jalannya, kayaknya ada si Komo yang lagi lewat."

"Komo apaan? Hari gini masih banyol si Komo, belum lahir Lo jaman itu!"

"Itu jaman nyokap sama bokap nikah. Makanya gue di kasih nama Leo."

"Apa hubungannya?"

"Sama-sama nama hewan."

Mereka tertawa."garing! Nggak lucu!"

"Lo duduk di sini bro."

Aku tidak mau melihat dan hanya mendengar entah mereka membicarakan apa, aku malas untuk melihat ke arah mereka!

Kursi di sebelah kiri ku di seret dan, sudah pasti Dito yang duduk disana. Gemuruh di dadaku kian terdengar.

Aku benci rasa ini.

***

kumpulan cerita pendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang