"Sayang," ucapku lalu berjalan menyambangi suamiku yang berdiri melihat aku dan tamuku.
Kuraih tas tangan yang dia bawa serta dua paper bag. "Tamu aku Yang, Tante Lyra," ucapku.
Tante Lyra tersenyum lalu menyambut uluran tangan untuk bersalaman dengan suamiku.
"Maaf ya, bertamu malam-malam,"
"Hmm, tidak masalah Tante. Silahkan saya bersih-bersih badan dulu."
Aku mengikuti suamiku berjalan menuju kamar pastinya dengan berpamitan dahulu sama Tante Lyra.
"Kok nggak kasih kabar dulu Yang," ucapku sembari mengambilkan handuk untuk dia mandi.
"Pengen surprise aja. Bisa dong kaya inspeksi mendadak gitu, kalau-kalau istri aku itu malam minggu sedang di apelin sama orang lain."
Aku tertawa, oh iya ini kekurangan suami aku, dia sedikit posesif tapi aku suka itu menandakan betapa dia benar-benar menyayangiku.
"Itu siapa?"
"Tante Lyra."
Alisnya berkerut mengingat sesuatu. Aku tahu dia pasti sedikit mengingat nama ini, aku sudah pernah bercerita tentang Riki dan aku menyebut nama tante Lyra dan juga Om Anggoro, suamiku pasti sedang mengingat-ingat.
"Ibunya..."
"Iya Riki," sahutku.
Dia membuang muka dan menghembuskan nafasnya kasar.
"Kamu tidak boleh cemburu sama orang yang sudah meninggal."
Aku berjalan ke arahnya yang tengah duduk di tempat tidur, lalu duduk di pangkuannya serta tanganku yang melingkar di lehernya. Tangan suamiku otomatis melingkar juga di pinggangku lalu menggerak-gerakkan kakinya membuatku bergoyang ke atas ke bawah.
"Terus ibunya kesini ngapain?"
"Main aja. Tadi tidak sengaja ketemu waktu belanja, eh by the way kamu sok-sokan surprise jadinya aku belum masak buat kamu."
Vano mencium kilat bibirku. "Jangan manyun-manyun begitu ah,"
Lalu dia kembali menciumi bibirku dan berakhir mencium kening.
"Delivery order aja ya, tidak enak sama tamu ditinggal sibuk sendiri."
Meskipun dia mendesah tapi mengangguk menyetujui.
"Aku mandi dulu," pamitnya seraya mencium kembali keningku dan berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di dalam kamar.
Aku berjalan ke dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk Vano lalu berjalan menuju ruang tamu kembali.
Di sana Tante Lyra sudah menggendong tasnya yang berwarna hitam.
"Tante mau kemana?" Tanyaku dn meraih tangannya.
"Sudah malam, tante pulang dulu. Ini sudah hubungi sopir tante buat jemput."
"Bukannya kami ngusir lho Tan, Tante juga bisa kok tidur disini, ada dua kamar kosong kok."
"Tidak apa-apa, ponakan tante nanti mencari Tante,"
"Oh, tante tinggal sama ponakan sekarang?"
"Iya, dia yang bantu urus usaha peninggalan suami."
Dia tersenyum sekali lagi dan berpamitan karena sopirnya sudah menghubungi kalau dia sudah berada di depan rumah.
Kami berpisah di depan rumah setelah dia memelukku sekali lagi. Matanya berkaca-kaca.
"Kamu nangis?" Aku menoleh pada suamiku yang ternyata sudah berada di belakangku.
"Coba bayangkan, kehilangan dua orang tersayang dalam satu waktu. Untung saja dia tidak depresi."
"Itu berarti iman dia kuat," jawabnya acuh lalu meraih tanganku, membawa aku berjalan masuk ke rumah. Duduk di sofa yang terletak di ruang keluarga lalu meraihku untuk duduk di pangkuannya lagi.
"Kangen banget sama kamu."
"Kangen kamu juga," kupeluk dia erat-erat.
"Aku bersyukur masih hidup dan bisa melihat kamu."
"Apaan sih,"
Apa dia mengalami kejadian yang mengerikan? Apa dia hampir kecelakaan?
Aku memeriksa kepala meraihnya menelisik hingga ke kulit kepalanya, membuka rambut tebal miliknya. Lalu beralih ke tangan, perut serta punggung dengan membuka kaos putih yang dikenakan.
"Apa sih? Aku sehat aku tidak apa-apa. Hanya bersyukur bisa hidup lebih lama dari pada Riki."
"Ck, tidak baik cemburu sama orang meninggal. Hei! Sayang! Kenapa malah melamun. Ada apa sih?"
Matanya yang terlihat kosong berkedip lalu menoleh padaku. Nafasnya hangat menerpa pipi ku.
"Tamu kamu tadi cerita apa aja?"
"Ya banyak, memangnya kenapa sih?"
Lagi-lagi suamiku mendesah seperti ada sesuatu yang menggangu pikiran dia.
"Din, kalau saja aku tidak transplantasi jantung di Singapore, belum tentu hari ini kita bisa berduaan dan memangku kamu begini."
"Ssstt udahlah sayang, yang penting sekarang kamu sehat. Bisa bahagiain aku. Tadi apa yang kamu bawa?"
"Oh semacam songket begitu,"
"Thanks sayang,"
"Sayang,"
"Hmm,"
"Kamu tahu apa lagi tentang Riki?"
Ah, suamiku sepertinya benar-benar cemburu dengan kedatangan Tante Lyra. "Udahlah...."
Dia menaruh telunjuknya di bibirku. "Sstt. Menurut kamu, maksud aku bagaimana pendapat kamu tentang transplantasi jantung aku?"
"Bahagia, dan berdoa semoga kamu sehat selalu, kenapa?"
Menghela nafas dan mempererat pelukannya, nafasnya tersengal.
"Dia benar-benar mencintai kamu. Bahkan ketika dia sudah tidak ada," apakah suamiku sedang menahan tangis?
Menarik diri dari pelukan lalu kutemukan wajahnya yang sendu dan matanya yang berkaca-kaca.
Ku raih pipinya dengan kedua tangan. "Kamu kenapa?"
"Bahkan ketika dia sekarat, dia ingat kamu. Jantung ini milik dia, aku selama ini salah mengartikan, ternyata orang yang mendonorkan jantungnya padaku bukan karena baik padaku, tapi yang dia pikirkan itu adalah kamu." Air matanya meluncur di kedua pipinya, bibirnya bergetar.
"Dia benar-benar mencintai kamu. Yang berdetak untuk kamu ini miliknya, bukan milikku. Aku hanya robot yang dia tugaskan untuk menjagamu."
Kupeluk erat suami ku dan aku menangis di pelukannya. Dia pun juga menangis.
Aku mengerti perasaan dia, orang yang selalu membuat dia cemburu itu hidup di dirinya, melalui jantungnya.
Jangan sampai suamiku merasa terbebani. Jangan!"Tapi aku cintanya sama kamu sayang. Cuma kamu. Kamu yang memiliki aku. Sst sudahlah, jangan bahas ini. Yang terpenting aku menikah dengan kamu. Aku mencintai Vano-ku."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
kumpulan cerita pendek
Randomhanya wadah untuk menampung beberapa cerita pendek hasil karya saya, Tsofie. terimakasih kalau anda sudah menyempatkan waktu untuk membaca apalagi berkenan memberi bintang. 💕