"Sat night with tante Lyra."
Aku menulis caption di laman story Instagram milikku, dengan foto berdua tersenyum bersama seorang ibu yang sekarang masih memeluk lenganku dan bersandar di bahuku.
Matanya sembab dan pipinya basah, bahkan kaos yang aku kenakan pun ikut basah karena tadi dia menangis dipelukanku.
Berawal dari pertemuan tak sengaja kami di salah satu perbelanjaan yang tak jauh dari rumah, dia menepuk pundakku sembari memanggil namaku, "Dinar?"
Ketika aku menoleh wajahnya kian berbinar tersenyum lalu memelukku.
Katanya,"lama sekali tidak berjumpa, kamu makin cantik.""Terimakasih tante. Bagaimana kabar tante? Sama siapa?" Tanyaku setelah dia melepas pelukan.
"Sendiri. Sama siapa lagi coba?" Wajahnya langsung berubah sendu membuatku merasa bersalah.
"Maaf tante."
"Its Ok. Kamu juga sendiri? Suami kamu?"
"Suami sedang berada di Aceh."
Tante Lyra tersenyum dan mengelus lenganku. "Oh iya, suami kamu bisnisman kok ya,"
Aku mengangguk menjawabnya.
"Mampir kerumah saya tan, deket kok naik ojeg cuman 10 menit."
"Boleh?" Matanya kian bersinar.
Hingga akhirnya kami berakhir di ruang tamu rumahku, rumah yang aku tinggali hampir setengah tahun bersama suamiku.
Aku membuatkan dia teh hangat hingga dia menungguiku memasak untuk kita makan berdua.
Kini Tante Lyra menarik diri dari bahuku dan mengusap pipinya yang basah.
"Andai saja takdir berkata lain, andai saja takdir ajal mereka masih panjang, dan andai saja takdir jodoh kamu itu Riki, betapa bahagianya Tante."
Mataku yang ikut basah segera ku usap.
"Sudahlah Tante, doakan saja semoga mereka bahagia di Sana."
Aku meraih tangan yang mulai keriput ini, ku cium lalu ku peluk lagi dia.
Kalau saja aku yang jadi Tante Lyra, entah mental aku kuat apa tidak ditinggalkan oleh dua orang tersayang dalam satu kecelakaan.
Namanya Riki, dia laki-laki yang terus saja mendekatiku meskipun aku selalu bilang padanya aku belum siap. Dia selalu bilang akan menunggu sampai aku benar-benar siap dan mau dengannya. Katanya aku boleh berpacaran dengan orang lain asal suatu saat bisa menikah dengannya.
Ah maafkan aku Riki karena aku tidak bisa menjadi perempuan yang bisa membahagiakan kamu.
"Maaf ya tante, Dinar tidak bisa menjadi perempuan yang membahagiakan Riki. Hidup Riki hanya penuh dengan kesakitan dari Dinar."
"Tidak nak, kamu salah. Riki itu bahagia dengan kamu. Hampir setiap duduk berdua dengan mamanya ini selalu bercerita tentang kamu, seperti tidak ada habisnya. Semuanya berisi pujian ke kamu. Katanya, Dinar yang cantik, Dinar yang anggun, Dinar yang baik sama orang lain. Dinar yang kalau marah gemesin, katanya kalau Riki beliin kamu sesuatu yang mahal, kamu pasti manyun dan menggerutu tidak habis-habis,"
Matanya menerawang tapi sudut bibirnya terangkat.
"Waktu kamu mau kencan sama pacar kamu, dia kasih kamu uang saku buat kencan ya?"
Dia tertawa kecil tapi malah aku yang malu merunduk menggigit bibir.
"Pasti Tante Lyra menganggap Dinar matre ya tan,"
"Sama sekali tidak. Riki itu anak satu-satunya tante, jadi apapun yang dia lakukan selama itu baik, tante selalu dukung. Seperti.... Ah.. "
Dia berhenti sejenak meraup udara sebanyak-banyaknya. Matanya mengerjap lalu berkelana menyapu ruangan minimalis rumahku.
"Bicara saja susah, dia malah ngeyel sama dokter untuk mendonorkan jantungnya. Dokter saat itu seperti sulit untuk menyampaikan sama tante, ya itu makanya dia minta pindah rumah sakit di Singapore, betapa baiknya Riki kan Dinar? Tante tidak marah, setidaknya sampai saat ini.."
Dia berhenti bercerita, mencoba menahan tangis yang akan pecah lagi. Urat di keningnya muncul menandakan betapa ia bersikeras menahan luapan tangis yang berat untuk ditahan. Aku bisa merasakan rasa kehilangan itu, mungkin malah lebih sakit dari ketika aku mengalami keguguran tiga bulan yang lalu.
Dia sungguh perempuan yang kuat.
"Setidaknya sampai saat ini tante tahu bagian dari tubuh Riki itu masih hidup, semoga si penerima itu orang yang baik."
Aku meraih tisu untuk tante Lyra dan juga untuk diriku sendiri untuk mengusap hidung yang berair.
"Itu foto suami kamu?"
Aku melihat pada arah yang di pandang tante, pada dinding yang terpajang foto aku dan Vano saat prewedding. "Iya tante."
"Tinggi ya, ganteng. Pasti juga baik."
Aku mengangguk. " Iya tante, dia orang yang baik. Memperlakukan istrinya dengan sangat baik, seakan Dinar itu anak kecil, kalau pergi selalu bawa oleh-oleh entah itu makanan atau barang, bahkan pulang dari kantornya di Jakarta saja pun, dia juga pulang tanpa tangan kosong."
"Syukurlah,"
"Iya tante Dinar bersyukur banget. Bahkan kadang, kalau waktu senggang, dia yang motong kuku Dinar. Ngasih kutek juga."
Kami tertawa bersama hingga suara pintu terbuka membuat kami menoleh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
kumpulan cerita pendek
Randomhanya wadah untuk menampung beberapa cerita pendek hasil karya saya, Tsofie. terimakasih kalau anda sudah menyempatkan waktu untuk membaca apalagi berkenan memberi bintang. 💕