Bab 14 - Blokir

55 9 27
                                    

"Udah baikan, Nis? Maaf kemarin aku belum bisa jenguk."

Mbak Aisy nyamperin gue sambil bawa parcel buah ukuran sedang. Gue yang lagi ngerjain laporan mendadak bingung dengan pemberian tiba-tiba ini.

"Lah, ini kenapa Mbak bawa buah?"

"Buat kamu. Biar cepet fit dan nggak gampang tumbang." Dia senyum, cantik. Meski umurnya udah menginjak kepala tiga.

"Aduh, jadi ngerepotin Mbak, nih."

Mbak Aisy mengibaskan sebelah tangannya. "Nggak sama sekali, kok. Oh iya, kamu lihat Kenzo sama Ilham, nggak?"

Sebenarnya gue nggak mau kepikiran, tapi kenapa setiap nama cowok itu disebut, mendadak bikin nyesek? Apa karena gue auto inget sama cewek semampai itu, ya?

"Kok, diem?"

"A-ah, enggak, Mbak."

Gue sedikit gelagapan. Sebisa mungkin bersikap biasa dan bodo amat. Meskipun dalam hati pengin misuh, sih.

Ya ampun! Astaghfirullah, nggak boleh ngumpat, Nis!

"Kontak kamu nggak, tadi? Soalnya aku chat nggak dibales."

Gue geleng sebagai jawaban. Buru-buru gue ambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Ah sial! Hape gue pake acara mati segala.

"Ya udah, kalau gitu. Nanti misal mereka datang, tolong sampaikan, ya, kalau nanti sekitar abis istirahat makan siang bakal ada rapat buat semua staff. Termasuk keuangan, kamu sama aku. Itu aja, sih. Aku mau ke kantor pajak dulu."

Gue ngangguk doang, abis itu Mbak Aisy jalan menuju kubikel ruang kerjanya. Sepeninggal manajer keuangan itu, perhatian gue terpusat pada satu parcel buah yang terlihat begitu segar. Duh, tahu aja kalau gue lagi pengin makan buah. Berkat sakit dadakan kemarin, gue masih rada eneg makan makanan berat. Tadi pagi aja cuma sarapan bubur sumsum buatan mamah.

Hah lemah, dasar! Ketimbun kerjaan dikit aja oleng.

"Wah, ada makanan!"

Gue refleks mendongak, cuma buat lihat Ilham datang sama Kenzo yang ada di belakangnya. Gue rada ... kesel. Entah kenapa? Mungkin masih kebawa soal kebohongan dia yang katanya mau balik ke rumah, tapi kagak juga. Itu loh, dua hari lalu. Yang bilang katanya dompetnya kebawa sama Maya. Ya Allah, kesel gue nyebut namanya.

"Punya lo, Nis?"

Ini lagi bayi dugong. Radarnya langsung kenceng kalau nyangkut makanan.

"Iya."

"Satu, ya?" Ilham senyum lebar sambil tangannya mulai nempel pada parcel buah pemberian Mbak Aisy. "Laper, nih, dari survei lapangan tadi."

"Ambil aja."

"Uhuy, mantep."

Entah cuma perasaan gue atau emang gitu adanya, Kenzo kelihatan lebih diam di belakang Ilham. Dia cuma senyum tipis gitu—tipis banget sampai nggak bisa bedain itu senyum apa miris—abis itu langsung duduk di mejanya, yang berada persis di seberang meja gue.

Ilham sibuk ngunyah pir yang nggak dicuci terlebih dulu, terus dia ambil posisi duduk di kursi depan meja gue. Heran nih anak, buset dah. Mulutnya tuh nggak jauh beda sama vacuum cleaner. Apa-apa bisa masuk tanpa disaring dulu. Gue nggak tanggung jawab deh ya misal abis ini dia sakit perut.

"Ham, kenapa tuh orang?" Sengaja gue nanya rada bisik-bisik gitu, nggak mau lah ya ketahuan Kenzo yang lagi fokus sama kerjaan.

"Siapa?"

"Si Ono."

"Si Ono siapa?"

Rasanya pengin gue getok kepala Ilham pake layar komputer. "Kenzo."

Between You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang