Bab 17 - Kebab

32 5 0
                                    

Ilham ngajak gue ke sebuah pusat perbelanjaan. Katanya, sih, dia mau beliin kado buat nyokap yang besok ulang tahun. Dari tadi gue udah diajakin muter-muter nggak jelas macam setrikaan. Nyamperin hampir semua konter yang ada di sana, mulai konter make up sampai perhiasan. Gue capek juga kalau muter terus tanpa tujuan pasti kayak gini. Gue pikir sejak ngajak, dia udah punya tujuan mau beli apa. Ternyata masih ngambang dan berujung ngalusin lantai karena mondar-mandir mulu.

"Sebenarnya lo mau beli apa, sih, Ham? Dari tadi muter nggak jelas kayak gasing." Gue protes, dong. Soalnya ini udah hampir sejam kita nggak beli apa-apa. Muter doang macem orang linglung.

"Gue mau beli perhiasan buat bunda."

"Ya, terus kenapa muter doang? Kenapa nggak dari tadi ke konter perhiasan di deket eskalator itu? Lo emang sengaja, ya, bikin gue capek jalan terus!"

Gue kesel. Kalau kayak gini mah namanya weekend gue semakin ambyar. Lebih parah daripada gue nyungsep di kasur seharian. Seenggaknya, rebahan itu enak. Lah, ini? Bikin kaki pegel doang.

"Bodo, ah. Gue mau duduk. Sana beli sendiri perhiasannya."

Daripada makin kesel dan berujung resek, gue memilih untuk duduk di kursi yang ada di dekat konter make up. Bodo amat sama Ilham yang kelihatan melas sambil natap gue.

"Ayo dong, Nis, bantu gue milih. Ya, masa gue sendirian? Kan, tujuan gue ngajak salah satunya buat bantu milihin mana yang cocok buat bunda."

"Ya, kalau gitu kenapa dari tadi cuma muter, Bambang?"

Sumpah, gue capek. Ditambah sikap Ilham yang benar-benar pengin gue jotos. Udah mood gue nggak bagus-bagus amat pula.

"Iya, deh. Kali ini nggak muter lagi. Gue bonusin es cendol sama lotek ujung kompleks."

Gue berdiri, terus dongak natap Ilham yang tingginya nggak kira-kira. Wadaw, gue ngerasa boncel banget kalau gini.

"Mau, ya? Langsung deh abis ini cus."

Bukan karena sogokan, sih, cuma gue udah sepet aja lihat Ilham mondar-mandir nggak jelas. Karena dengan begitu, gue juga yang capek ngikutin langkahnya ke sana-kemari tanpa kejelasan.

"Buru, abis ini balik. Capek gue ngikutin lo mulu."

Gue narik tangan Ilham. Sengaja gue geret tubuh bongsornya menuju konter perhiasan yang berada nggak jauh di dekat eskalator. Untungnya di sana nggak begitu ramai, terus juga disediakan beberapa kursi buat pelanggan yang berkunjung.

Sambil nunggu Ilham nanya-nanya soal kalung, gue memilih untuk duduk sambil main ponsel. Buka timeline Instagram yang isinya cuma itu-itu aja. Ngebosenin. Karena nggak ada yang menarik, gue ganti buka WhatsApp. Nggak ada pesan yang penting juga di sana, cuma spam dari beberapa grup yang gue ikuti.

Mencoba untuk menghilangkan bosan, akhirnya gue main game. Bukan game rumit kayak mobile legend atau semacamnya. Cuma game modelan susun tiga atau lebih dengan karakter buah dan sayur. Kayak bocah emang, tapi asyik. Didukung sama sound yang unyu, juga karakter buahnya yang bikin ngiler. Duh, kan, jadi laper gue.

"Nis, coba lihat, deh. Kalau ini gimana?"

Atensi gue beralih dari ponsel ke arah Ilham yang sekarang lagi megang sebuah kalung berwarna silver. Kalungnya simpel, nggak terlalu tebal macam kawat jemuran. Bandulnya bentuk bulan sabit kecil gitu. Cantik.

"Oke, tuh."

"Yang ini?"

Gue asal ngangguk. Niatnya biar cepet, males ditanya-tanya lagi, kan. Eh tapi, ternyata Ilham beneran pilih itu dong. Bikin gue meleleh aja. Merasa dihargai pendapatnya.

"Udah?" tanya gue selepas Ilham bayar dan menerima barang tersebut dalam sebuah kotak warna navy.

Dia ngangguk, lihat jam sebentar sebelum akhirnya narik sebelah tangan gue.

Kalau orang lihat sekilas, nih, tanpa tahu kebenarannya, mungkin gue sama Ilham dikira lagi pacaran. Ya, gimana enggak? Manis banget cuy dianya. Meski tadi bikin kesel karena mondar-mandir nggak jelas, tapi gandengan mulu ke sana-kemari. Kan so sweet gitu.

"Lah, mau ke mana?"

Gue bingung waktu Ilham ngajakin gue belok ke salah satu tempat makan di mall. Dipikir kan, beneran mau diajak makan di warung lotek ujung kompleks kayak yang dia bilang. Namun, ternyata gue salah. Dia ngajak mampir di sebuah stand kebab. Duh, tahu aja, sih, kalau gue lagi ngidam kebab? Padahal besok baru rencana pengin beli pas berangkat kerja, tapi yang namanya rejeki emang nggak bakal ke mana, sih. Alhamdulillah kali ini dikabulin lebih awal.

"Makan di sini?"

Meski tadi uring-uringan, mood gue perlahan lebih baik. Gue emang gitu, mood cepet banget berubah karena hal-hal kecil. Dan hal yang sekarang bikin gue feel better adalah kebab.

"Nggak tega gue kalau kudu ke warung lotek ujung kompleks."

"Kenapa?"

"Muka lo udah sepet pucet kayak manusia kurang gizi."

Gue nabok lengan Ilham ketika dia narik salah satu kursi yang ada di sana. Dia mengaduh pelan karena hal itu. Kurang ajar emang jadi sohib.

"Gembel!"

Alih-alih protes atau marah, Ilham justru ketawa. Bikin taringnya kelihatan. Gue heran. Dulu banget pikiran random gue sering menebak-nebak kalau Ilham adalah titisan Edward Cullen. Cuma, kalau dipikir lagi kayaknya enggak, deh. Jauh banget soalnya. Edward Cullen berkulit pucat dan ganteng, sedangkan Ilham item.

Astagfirullah! Apa barusan gue menghina sohib sendiri? Eh, tapi emang bener sih. Gue jujur, kok. Kulit Ilham emang sedikit lebih gelap, enggak seputih Kenzo.

Bentar ... kenapa gue jadi membandingkan Si Bongsor sama oknum kupret itu, sih?

"Mau yang apa, Nis? Ada dua varian di sini, isian jamur sama isian daging."

Gue langsung noleh ke arah daftar menu ukuran besar yang tertempel di stand kebab tersebut. Benar yang disebutkan Ilham, di sini ada dua varian kebab, jamur sama daging. Gue belum pernah ke sini sebelumnya. Nggak tahu deh kalau Ilham. Gue jadi curiga kalau nih orang suka nongkrong di sini, soalnya tahu banget menunya.

"Enaknya apa?"

"Jamur."

"Ya udah, gue mau yang daging, dua."

Ilham ngernyit pas dengar jawaban gue. Kayak nggak percaya gitu, padahal juga dia hafal gimana sahabat tersayangnya ini. Pura-pura cengo aja kayak baru kenal sehari.

"Kenapa? Salah?"

"Serius dua?"

"Ya udah, tiga."

"Nis—"

"Dih, katanya mau nraktir tapi perhitungan. Pelit amat jadi orang."

Ilham merotasikan bola matanya. "Nggak gitu, Nisma. Masalahnya ini porsi gede, yakin abis kalau pesan tiga?"

Gue berdecak. "Kan, tadi gue bilang dua. Niat nraktir nggak, sih?"

"Ya udah, oke. Kebab dagingnya dua porsi." Dia beranjak, tapi belum ada beberapa langkah udah nengok lagi. "Nggak dua macam gitu, Nis? Daging sama jamur?"

"Enggak. Sengaja biar lo keluar duit banyak hari ini. Dah, sana pesan!"

"Laknat, lo!"

Gue ketawa pelan lihat muka Ilham yang rada sepet. Ngerjain dia emang semenyenangkan itu, sih.

🌷🌷🌷
.
.
.
.
.

Ayo Nisma, bakal oleng atau enggak abis ini?

Between You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang