Bab 20 - Pengakuan

50 3 0
                                    

Sejak balik dari kantin kantor dua hari lalu, gue udah menyesali jawaban yang terlontar atas pertanyaan Kenzo. Emang bener gue bego kebangetan. Entah gengsi atau bukan yang bikin gue dengan seenaknya jawab kayak kemarin. Atau karena emosi duluan karena semuanya dikaitkan dengan Maya? Gue juga nggak paham, tapi rasanya sakit banget sampai air mata luruh gitu aja.

"Emangnya status kita lebih dari sahabat? Enggak, kan?"

Emang, ya, penyesalan itu selalu datang di akhir. Kalau di depan, namanya pendaftaran.

Gue nggak tahu motif Kenzo nanya kayak kemarin. Apa karena ada sesuatu yang dia rasa ke gue sebagai seorang laki-laki, atau hanya pertanyaan acak karena sikap gue beberapa hari belakangan? Jujur aja gue kepo, tapi nggak tahu harus gimana.

Dulu, sih, Ilham pernah bilang kalau Kenzo suka sama gue. Masih ingat yang dia jodoh-jodohin gue sama Kenzo, kan? Tapi, mana bisa Ilham dipercaya? Kalau bukan Kenzo sendiri yang bilang. Meskipun sebenarnya gue pengin percaya.

Andai, ya, gue nggak menaruh rasa. Kayaknya nggak bakal rumit seperti sekarang. Atau lebih baik misal gue sadar sejak lama kalau hati ini berlabuh pada si Kampret itu. Sayangnya, lagi-lagi gue bilang kalau kata andai itu semu. Lucu aja gitu, berharap hal yang udah terjadi bisa diulang. Sama aja namanya nggak tahu diri.

"Kalau lo ke sini cuma mau pamer tampang sepet kayak kanebo ketumpahan oli, mending balik, deh."

Sampai-sampai gue juga nggak sadar kalau sekarang lagi di rumah sakit. Jadi, setelah dua hari lalu nekat masuk kerja dengan keadaan nggak memungkinkan, Ilham akhirnya harus di opname. Baru masuk tadi pagi, sih. Soalnya panas nggak turun selama tiga hari. Kemarin dia juga nggak masuk kerja. Kata bunda sebelum pulang tadi, Ilham positif tipes.

Alhasil, di sinilah gue. Menggantikan bunda buat nunggu Kampret satunya di rumah sakit. Sebenarnya gue agak ketar-ketir, takut kalau tiba-tiba Kenzo muncul di balik pintu. Bisa mati kutu gue. Soalnya lagi-lagi gue menghindar dan terkesan makin cuek.

"Dih, nggak tau diri banget lo! Bukannya terima kasih karena gue tungguin."

Ilham mendengkus. "Ya, lo pikir gue bisa diem aja ditunggu sama orang yang tampangnya mirip macan siap menerkam mangsa? Bukannya cepet sembuh, makin parah sakit gue."

Refleks, gue tabok lengan Ilham yang bebas dari infus. Enak aja ngatain gue macan. "Lagi sakit masih aja nyebelin!"

"Sialan, lo! Kalau gue mati gimana?"

Mulai, tukang drama.

"Tangan gue bukan parang yang bisa nebas leher lo, Ham. Nggak usah lebay."

Ilham mengusap-usap lengannya yang tadi gue tabok. Nggak tahu dia pura-pura atau beneran, tampangnya kayak kesakitan gitu. Padahal gue nggak kenceng naboknya. Alhasil tangan gue reflek ngusap lengan kekarnya.

"Pulang aja sana, Nis. Nggak enak banget itu muka buat dipandang."

"Nggak mau."

"Lo khawatir sama gue, kangen, atau sedang melarikan diri?"

Gue nggak jawab apa pun, cuma mainin selimut yang dipake Ilham. Sebenarnya bisa dikatakan tiga-tiganya, sih. Gue khawatir banget karena Ilham tergolong orang yang jarang sakit. Sekalinya sakit, berakhir di RS. Kangen juga iya, soalnya kantor tanpa eksistensi dia tuh berasa krik krik. Dan soal melarikan diri, telak banget nggak, sih? Gue lagi males ketemu Kenzo soalnya. Pede banget, ya, padahal belum tentu dia nyariin gue.

"Kayaknya yang ketiga, sih."

Gue belum pernah sakit tipes, tapi Kamal pernah. Dia dulu kelihatan kayak kehabisan tenaga gitu, tapi kenapa Ilham nggak, ya? Apa cadangan lemak dia begitu banyak makanya masih bisa merepet panjang kayak gini?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang