Sabtu. Hari yang agak panas di minggu-minggu pertengahan Oktober.
Seperti biasa, aku, Sari, dan Elga pergi ke perpustakaan sekolahku untuk mengikuti pelajaran agama.
Setelah pelajaran selesai, aku memasukkan segala macam alat tulis dan buku ku ke dalam tas ransel Pallazo ku.
Wonny mencegahku supaya jangan pulang dulu. Ia menyatakan permintaan maafnya padaku. Hatiku hancur. Ingin sekali aku menitikkan air mata. Aku tidak tega melihat Wonny begitu serius dan tulus meminta maaf padaku. Aku tahu itu bukan salahnya. Bahkan tidak ada yang perlu disalahkan. Aku hanya ingin melihatnya senang dan bahagia apabila bersahabat denganku.
Aku mengorbankan rasa cintaku padanya hanya supaya persahabatan kita selamanya.
Ia pun tahu kalau aku menyukainya. Aku rasa, jujur adalah jalan yang terbaik. Walaupun akan menyakitkan, tetapi tidak menambah dosaku.
Wonny, aku juga minta maaf padamu. Seharusnya aku tidak cemburu buta yang tak jelas seperti itu. Aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu. Maaf kalau sikapku sering kali membutmu jengah dan bosan. Mungkin aku belum pantas sepenuhnya menjadi sahabatmu. Namun aku berjanji, aku akan selalu ada di saat kau membutuhkanku. Kau dapat memegang janjiku itu, kawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Precious
Short StoryJatuh cinta itu memang wajar dan bahkan harus. Tak dapat dipungkiri apabila di usia remaja yang sedang mencari jati diri ini merasakan gejolak cinta yang menggebu-gebu.