JEJAK 1

73 20 17
                                    

Suara laju kaki yang mengentak ubin, merusak konsentrasi Neina. Rumus-rumus fisika di otakknya seolah-olah rontok begitu saja. Dia mendengkus sesaat setelah mendengar teriakkan seseorang yang memanggil namanya. Tanpa menoleh pun Neina tahu bila itu adalah suara Nila, saudara kembarnya.

"Neinei!" teriak Nila heboh. Dia duduk di sebelah Neina tanpa izin terlebih dahulu. Beberapa pasang mata murid yang masih ada di kelas, memandangnya dengan heran.

"Ada apa?" tanya Neina malas. Dia meletakkan pena dan menyandarkan punggung ke kursi.

Meskipun keduanya lahir dalam rentang jarak menit saja, tetapi sifat mereka amat berbeda. Nila selalu memperhatikan penampilan. Gadis periang yang cinta fashion itu begitu mudah bergaul, sehingga memiliki banyak teman. Sedangkan Neina sama sekali tak peduli dengan penampilan. Yang ada di kepalanya hanya belajar dan belajar. Tak ayal nilainya melejit jauh bila dibanding saudara kembarnya.

"Lihat, nih, Nei!" Nila menunjukkan barisan chat di ponselnya. "Kak Rian ngajak gua jalan," terangnya girang.

Neina mengambil dan membaca beberapa chat dengan tak berselera. Cewek itu sama sekali tidak tertarik dengan topik jatuh cinta yang sering saudaranya bahas. Ya, Nila memang tipe cewek yang mudah jatuh cinta, patah hati dan move on.

"Kak Rian itu siapa?"

Seketika senyum di bibir Nila luntur. Dia merengut seraya menjitak lawan bicara. "Ish! Selalu lupa! Yang ada di otak lu, tuh, cuma rumus-rumus doang!"

"Sakit tahu!" Neina menggosok bekas jitakkan di kepala. "Bukan salah gua kalau lupa. Cowok yang lu suka banyak, sih!"

Wajah Nila semakin kusut. "Ish! Lu bikin mood gua anjlok."

Melihat bibir Nila yang maju beberapa senti, nyaris seperti bebek, Neina terkikik geli. Dicubitnya pipi kanan gadis berbandana biru itu dengan gemas. "Oke, gua salah. Maaf. Coba lu jelasin pelan-pelan supaya gua ingat."

Nessa mengembuskan napas panjang. "Gua ketemu Kak Rian waktu hang out bareng Silla dan Wanda di Turtle Café. Dia kerja di situ. Gua iseng stalking akun Instagram-nya dan nyoba DM. Eh, dibalas." Nila duduk miring agar bisa menghadap lawan bicara. Kami makin akrab. Sampai teleponan segala. Seneng gua."

"Oh, gitu," tanggap Neina datar. Menurutnya tidak ada yang spesial dari cerita saudaranya itu. Dia yakin bila tak lama lagi, Nila akan berpindah ke lain hati. Entah karena pihak cowok yang memberi harapan palsu atau Nila sendiri yang hilang selera saat tahu sifat asli si cowok itu.

Geram melihat respons Neina, Nila mendaratkan pukulan ke lengan gadis berkacamata itu. "Emang ya, lu itu kayak balok es. Dingin, lempeng."

"Lu lama-lama anarkis ya!" protes Neina seraya mengosok lengannya yang terasa panas.

"Habis lu kayak cuek gitu. Padahal gua mau lu anterin ketemuan sama dia."

"What!" tanpa sadar Neina memekik. Dia segera menutup mulut kala sadar beberapa teman sekelas tengah menyorotnya tajam. "Ogah gua! Gua enggak mau jadi obat nyamuk."

"Please, Nei. Kali ini aja. Gua gemeteran kalau di depan Kak Rian. Deg-degan." Nila memeluk lengan yang tadi dipukulnya.

"Kenapa lu enggak minta tolong Wanda atau yang lain?"

"Ogah, ah! Entar malah nikung gua. Gua suka beneran sama Kak Rian." Tatapan memelas dia tunjukkan kepada Neina. "Please, Nei. Tolongin gua." Nila semakin menggoyang-goyangkan lengan saudaranya.

Neina mendesah seraya mengangguk setuju. "Kapan?"

"Nanti siang sepulang sekolah," jawab Nila diiringi senyum bahagia.

"Oke, gua temenin, tapi pukul setengah empat gua cabut. Ada simulasi ujian nasional di tempat bimbel."

"Oke, Neinei sayang. I love you." Nila mengecup singkat pipi kanan Neina, kemudian berjalan ke luar kelas penuh keceriaan.

Neina menggeleng-geleng melihat tingkah saudaraya itu. Dia kembali memegang pena dan menekuri soal-soal fisika sebelum bel masuk berbunyi.

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang