JEJAK 3

39 16 13
                                    

Kekesalan Neina tak mereda sedikit pun. Gara-gara Nila, dia terlambat mengikuti simulasi ujian nasional di tempat bimbel-nya. Ya, saudara kembarnya itu malah menawarkan tumpangan pada Rian karena dia harus kembali bekerja. Awalnya Rian menolak karena takut merepotkan. Namun akhirnya mau juga setelah Nila memaksa. Mau tak mau, Neina harus menunggu Nila mengantar Rian, lalu kembali menjemputnya. Sebenarnya, dia bisa saja naik ojek online kalau saja dompetnya tidak tertinggal di kamar.

Akhirnya, Neina terlambat 30 menit. Itu berarti waktu yang dimilikinya untuk mengerjakan soal latihan berkurang sia-sia. Neina ingin menjerit, meluapkan amarah manakala hasil tes itu diumumkan 20 menit kemudian. Dia meduduki peringkat lima. Padahal dia menargetkan posisi pertama.

"Gua enggak bakal mau lagi nemenin si Nila!" umpatnya lirih.

Tersebab amarah yang sudah sampai ubun-ubun, membuat konsentrasinya terpecah. Saat menuruni anak tangga, tali sepatu kirinya lepas dan diinjak kaki satunya. Neina kehilangan keseimbangan sehingga pergelangan kaki kanannya terkilir. Beruntung, ketika hendak terjatuh, sebuah lengan menahannya.

"Jangan ngelamun kalau jalan."

Neina menoleh dan menjumpai seorang cowok dengan tampilan rapi. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Diyakininya bila cowok itu berusia sekitar dua puluhan.

"Lu enggak apa-apa, kan?"

Pertanyaan itu menyadarkan Neina. Seketika pergelangan kaki kanannya terasa nyeri. Hanya melihat dari ekspresi wajah Neina yang meringis kesakitan, cowok itu tahu bila kondisi Neina tidak baik-baik saja. Dia pun memapah Neina menuju kursi tunggu di lantai dua. Buru-buru cewek itu duduk karena malu sebab beberapa temannya mulai memperhatikan mereka.

"Kaki mana yang terkilir?" tanya cowok itu seraya berjongkok dan memperhatikan kedua kaki Nenia.

"Kanan."

Tanpa dikomando, cowok itu perlahan melepas sepatu Neina.

"Mau apa lu?" tanya Neina panik.

"Nyembuhin kaki lu. Apa lu mau kaki lu jadi bengkak?" Dia balik bertanya. Kali ini dengan nada sedikit kesal. Neina menggeleng. Cowok itu kembali melanjutkan niatnya. "Tahan." Awalnya dia hanya memijit perlahan. Namun, kemudian menggerakkan pergelangan kaki itu dengan cepat. Hal itu membuat Neina menjerit kesakitan.

"Selesai." Dia berdiri dengan mata masih memandang Neina yang hampir menangis. "Lain kali hati-hati." Usai berkata demikian, cowok itu pergi dengan santai.

Tinggallah Neina yang memandang punggungnya hingga hilang saat menuruni tangga. "Terima kasih," lirihnya sembari memegang dada yang mendadak menghangat.

***

"Kaki terkilir, kok, malah senyum-senyum?" Sofia—mama Neina—bertanya sambil mengamati gelagat anaknya dari kaca spion.

Neina yang duduk selonjoran di kursi belakang, segera menoleh ke depan. "Ah, enggak, kok. Neina biasa aja, Ma."

Sofia tersenyum jail. "Masa, sih?" Kedua tangannya masih sibuk memegang kemudi mobil.

Menyadari bila dirinya tengah digoda, kedua pipinya memerah. "Mama apaan, sih! Neina enggak senyum-senyum, kok!"

Sofia tergelak mendapati godaannya sukses. "Iya iya, Mama percaya. Kita langsung ke dokter ya, supaya kakimu bisa diperiksa."

"Enggak usah, Ma. Tadi udah ada yang nolongin Neina."

Sofia mengangkat sebelah alis, "Siapa?"

"Enggak kenal."

"Meski begitu, kamu harus tetap ke dokter. Mama enggak mau kamu kenapa-napa," putus Sofia memaksa.

"Terserah Mama sajalah."

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang