JEJAK 7

12 10 2
                                    

Jantung Neina kebat-kebit saat berpapasan dengan Romeo di lorong. Cowok itu tersenyum tipis ke arahnya, lalu masuk ke dalam kelas. Bukan kelas Neina, melainkan kelas sebelahnya. Tentu saja kelas itu sekarang penuh. Neina yakin bila kelas itu juga diisi murid cewek dari kelas lain yang tak betul-betul ingin belajar fisika, melainkan hanya ingin memandang sang tutor.

Ini kali pertama bagi Neina tidak bisa konsentrasi saat di dalam kelas. Penjelasan Pak Mirwan seputar virus, tak bisa masuk ke dalam otak Neina. Cewek itu justru sibuk memikirkan cara agar bisa menyampaikan niatnya untuk meminta tolong pada Romeo. Namun, hingga bel pergantian pelajaran berbunyi, ide itu tak kunjung dia dapatkan.

***

Mama:

Maaf, Sayang. Mama harus ke Bandung sekarang. Tante Kikan melahirkan. Kamu pulang naik taksi online saja ya.

Neina mendengkus. Dimasukkannya kembali ponsel ke dalam tas. Kepalanya menoleh ke jendela yang menunjukkan bila di luar tengah hujan. Mau bagaimana lagi, bila ingin pulang dengan kondisi tidak kebasahan, ide sang mama memang sangat tepat. Maka, dia segera memesan sebuah taksi.

Beberapa menit kemudian, Neina sudah duduk nyaman di dalam taksi. Kedua matanya tak lepas memandang ke depan. Pikirannya melayang masih dengan alasan yang sama, yaitu mencari cara mengawali pembicaraan. Tiba-tiba, konsentrasnya berantakan kala taksi berhenti di depan lampu merah. Di trotoar, Neina melihat Romeo tengah menuntun sepeda motor. Setelah lampu hijau menyala, Neina meminta sopir menepikan taksi tepat di sebelah Romeo.

Romeo menoleh tatkala ada taksi berhenti di sampingnya. Kaca belakang terbuka dan menampakkan wajah Neina.

"Motor Kakak kenapa?" tanya Neina panik.

"Ban belakangnya bocor," jawab Romeo seraya mengusap wajah dengan sebelah tangan. Cowok itu basah meski sudah memakai jas hujan. "Belum ketemu bengkel yang buka. Padahal ini masih setengah delapan."

"Tunggu sebentar, Kak."

Neina mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Dia sesekali mengatakan "ya". Setelah mengucapkan terima kasih, dia menutup sambungan.

"Kakak tunggu di sini sebentar. Nanti ada mobil pick up milik Bengkel Cakra yang datang. Itu bengkel langgananan Papa. Mereka yang bakal bantu Kakak," terang Neina panjang lebar.

"Makasih banyak, Nei."

"Sama-sama." Neina tersenyum ceria. "Neina pulang dulu, ya, Kak."

Romeo mengangguk.

Neina menaikkan kaca mobil, lalu meminta sopir melanjutkan perjalanan. Di dalam hati dia begitu senang karena dapat membantu sang cowok idaman.

***

Neina semakin gembira manakala sang papa menggendongnya masuk ke rumah. Betapa tidak, akhir-akhir ini pria bernama Yudi itu begitu sibuk dengan urusan kantor. Bahkan selama seminggu penuh, dia diminta bosnya mengurus beberapa masalah di kantor cabang yang ada di Solo.

"Kapan Papa sampai rumah?" tanya Neina kala sang papa mendudukkannya di sofa.

"Sekitar tiga puluh menit lalu." Yudi duduk, lalu mengecup lama kening sang putri. "Papa kangen sama kamu, Nei."

Neina memeluk sang papa dengan manja. "Neina juga kangen, Pa."

Yudi mengelus puncak kepala Neina penuh kasih. "Oh iya, Nila enggak pacaran lagi, kan?"

Pertanyaan itu sukses membuat Neina jantungan. Sejak dulu, Yudi memang tidak mengizinkan putri kembarnya berpacaran. Dia tidak mau mereka terjerumus dalam pergaulan bebas. Terlebih, beberapa anak dari temannya sudah mengalami. Hal itu pulalah yang memengaruhi pikirannya.

"Setahu Nei, Nila enggak pacaran lagi." Neina tak sepenuhnya berbohong, sebab hubungan Nila dan Rian masih belum dalam tahap pacaran.

"Bagus. Papa akan sangat marah bila kalian diam-diam melanggar larangan." Yudi memegang dagu Neina agar dapat memandangnya. "Mengerti, kan?"

Neina mengangguk dan memaksakan senyum.

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang