JEJAK 12

15 8 0
                                    

Neina duduk bersandar di bawah pohon mangga. Dari sana dia dapat melihat Nila yang tengah bercanda dengan kawan-kawannya di kantin. Sebenarnya, saudara kembarnya itu mengajaknya ikut serta, tetapi Neina menolak. Saat ini dia ingin sendiri.

Tiga minggu pasca menjadi kekasih Romeo, membuat Neina mereguk kecemasan. Cowok yang dia cintai itu, terus membujuknya untuk membuktikan cinta dengan cara 'bermain' dengannya. Awalnya Neina menolak, tetapi karena Romeo terus merayu dengan kalimat manis, akhirnya pertahanan Neina tertembus. Kemarin sore, Neina mengabulkan permintaan itu setelah Romeo berjanji tidak akan meninggalkannya.

"Semalam nyokap lu telepon gua."

Suara Citra membuyarkan lamunan Neina. Sungguh, saat ini dia tak ingin bertemu dengan cewek itu. Sejak percek-cokan keduanya di toilet. Hubungan mereka masih belum membaik. Malah semakin mendingin. Dan Neina tidak memberi tahu sang mama perihal pertengkaran itu.

"Lu pergi ke mana sampai malam gitu? Pergi sama Romeo?" tebaknya diakhiri senyum sinis.

"Bukan urusan lu!" Neina berdiri sembari membersihkan debu dari roknya.

"Nei, jangan terjerumus ke cinta gila. Inget nyokap dan bokap lu. Jangan bikin mereka malu."

"Cukup, Cit!" Neina membentak marah. "Lu enggak ada hak ngatur gua! Lu bukan siapa-siapa!" Neina berjalan meninggalkan Citra tanpa menunggu respons lanjutan.

***

Neina meengeratkan pelukan di pinggang Romeo. Diletakkannya dagu ke bahu kanan cowok itu. Romeo memperhatikan kekasihnya dari kaca spion motor.

"Kenapa bad mood gitu, Sayang?" Romeo menggerakkan bahunya agar Neina menjawab pertanyaannya.

Neina tetap membisu, malah bibirnya semakin manyun.

"Sebel dimarahin mama karena telat pulang? Sorry, ya."

"Masalah itu udah beres. Aku bilang kerja kelompok di rumah Nita."

"Terus apa dong?"

Neina mendengkus. "Enggak apa-apa, kok. Enggak penting."

"Ya udah, jangan cemberut. Senyum dong." Dengan terpaksa Neina menuruti permintaan sang kekasih. "Itu baru cewekku."

Romeo terus memacu laju motornya melewati beberapa perempatan besar. Seketika Neina menyadari bila tujuan mereka berubah.

"Kita mau ke mana, Sayang? Bukannya tadi kamu ngajak makan siang? Jalannya salah." Neina mulai mencecar.

Romeo menyunggingkan senyum. "Jalannya bener, Sayang. Aku mau makan di indekos."

Neina masih belum bisa mencerna arah pembicaraan Romeo. "Memangnya kamu udah beli makanannya?"

"Siapa yang mau makan makanan?" Romeo balik bertanya. Diliriknya Neina dari kaca spion. "Aku mau 'makan' kamu, Nei. Aku mau kita 'main' kayak kemarin sore."

Kalimat Romeo membuat gendang telinga Neina berdenging. Jujur saja, di lubuk hatinya ada perasaan mengganjal karena telah melanggar larangan sang papa. "Tapi hari ini kamu ada jadwal ngajar, kan, Sayang. Aku enggak bisa bolos bimbel lagi. Aku takut Mama curiga." Neina mulai beralasan.

"Cuma bentar, kok. Sekali doang. Setelah itu kita ke tempat bimbel."

Neina belum menjawab. Dia masih bimbang.

"Kamu cinta aku, kan, Nei? Kamu enggak mau kita pisah, kan?"

Mendengar kata pisah, membuat Neina cemas. Baginya kata itu sangat menyeramkan. Terlebih, dia sangat mencintai cowok itu. "Iya aku mau, tetapi janji jangan lama-lama."

"Iya, Sayang." Romeo menambah kecepatan motornya dengan senyum terkembang.

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang