JEJAK 10

28 7 0
                                    

Senyum Nila tak luntur dari bibir. Setelah pagi tadi menjuarai kompetisi balet, siang ini cowok pujaannya menyatakan cinta. Tentu hal itu tidak dia sia-siakan, sebab Nila pun telah lama jatuh hati padanya. Maka hari ini mereka berdua resmi menjadi sepasang kekasih.

"Sayang, makasih ya kamu udah bikin kejutan indah ini," ujar Nila malu-malu. Dia bergelendot manja di lengan kiri Rian.

Usai lomba balet itu, Rian yang dibantu Romeo membuat pesta kecil-kecilan di halaman belakang kontrakan untuk memberikan selamat atas keberhasilan Nila. Pada kesampatan itu pula, Rian memberanikan diri menyatakan perasaannya. Keduanya tampak begitu bahagia. Saking bahagianya, Rian tidak mempermasalahkan bila harus backstreet dari orang tua Nila.

Tangan kiri Rian membelai rambut Nila. "Sama-sama, Sayang. Makasih juga kamu udah nerima aku." Tanpa diduga, Rian mendaratkan kecupan lama di puncak kepala cewek itu.

Hal tersebut membuat Neina yang duduk di kursi kayu sedikit terperangah. Dia memang sering melihat adegan itu di film, tetapi tak pernah terpikirkan akan melihatnya langsung. Sontak, kedua pipinya merona.

"Jadi, kalian nahan gua di sini cuma buat nonton kemesraan doang?" Romeo berseloroh kesal. Dia duduk sambil memandang jengkel Rian dan Nila.

Rian menjawab dengan enteng, "Tuh, di sebelah lu ada cewek cakep. Kenapa enggak diajak ngobrol?"

Romeo menoleh sejenak ke samping. Neina tampak duduk dengan gelisah. Kedua pipinya memerah. Dia tahu bila cewek itu tak nyaman dengan candaan Rian.

"Kalian ini malu-malu kucing," sambung Nila. Dia menatap sang kekasih. "Padahal malamnya mereka ngobrol lewat telepon, lho, Yang."

"Beneran, Rom?" Rian bertanya dengan menaik-turunkan kedua alis.

Neina semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memanas. Di dalam hati dia menggurutu, menyesal telah menceritakan hubungannya dengan Romeo kepada Nila.

"Mau tahu aja lu." Romeo berdiri sambil meraih tas ransel dan menggendongnya di punggung. "Nei, udah waktunya bimbel. Lu mau bareng gua?"

Neina mendongak canggung. "B—boleh." Neina berdiri sambil mengenakan tas selempang ke bahu. "Gua pergi dulu, Nil. Jangan pulang malem-malem."

Nila mengerlingkan sebelah mata. "Lu juga hati-hati. Pegangan Kak Romeo yang kenceng."

"Peluk juga boleh, kok, Nei." Rian menggodanya lagi.

Romeo mendengkus. Digandengnya tangan Neina dan menarik cewek itu keluar dari kontrakan Rian.

***

Ini bukan kali pertama Neina tak bisa konsentrasi pada materi yang tengah diberikan tutor di bimbel-nya. Kepalanya dipenuhi wajah Romeo yang semakin hari semakin melekat di otak. Terlebih, tadi cowok itu menggenggam tangannya. Meski sudah berlangsung sejam yang lalu, tetapi Neina seakan-akan masih bisa merasakan kehangatan tangan Romeo.

"Sekian untuk hari ini. Jangan lupakan materi yang saya terangkan tadi." Bu Emi tutor kimia melangkah keluar ruangan diikuti para peserta bimbel lain.

Tak ingin ketinggalan, Neina buru-buru memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. Kemudian dia bergegas menuju warung kelontong yang berjarak 100 meter dari tempat bimbel. Apalagi kalau bukan menunggu Romeo. Ya, cowok itu berjanji akan mengantar pulang Neina.

Lima belas menit kemudian, Romeo datang mengendarai motor matic-nya. Dia memberhentikan motor itu di depan Neina. Dia turun sambil berkata, "Sorry, tadi gua masih diajak rapat sama tutor lain. Akan ada simulasi Ujian Nasional lagi." Cowok itu memasangkan helm pada kepala Neina.

Sontak hal itu membuat Neina deg-degan bukan main. Terlebih wajah keduanya sangat dekat. "Eng—enggak apa-apa, kok."

Romeo menatap manik mata Neina dengan lembut. "Nei, apa lu ngerasa terganggu kalau gua telepon malem-malem?"

Neina menggeleng. "Enggak terganggu sama sekali. Memangnya kenapa, Kak? Kakak bosan teleponan sama Neina?"

Romeo tersenyum lebar. Dicubitnya pipi kanan Neina. "Lu ngegemesin, Nei. Mana mungkin gua bosan."

"Eum ... a—ayo pulang," potong Neina canggung. Sungguh saat ini jantungnya seperti akan meloncat keluar akibat dari perlakuan Romeo. "Tapi nanti turunin Neina ..."

"Seratus meter dari rumah, kan?" potong Romeo.

Neina mengangguk. "Maaf, soalnya Papa enggak ngebolehin Neina terlau dekat sama cowok."

"Aku ngerti, kok, Nei." Romeo menaiki motornya. "Yuk, pulang."

Neina buru-buru naik di boncengan motor. Dia memegang pinggang Romeo dengan canggung.

___________________________

Halo ^__^

Terima kasih sudah berkenan membaca dan vote ceritaku. Ikuti terus kelanjutan JEJAK NEINA ya. See you next chapter :)

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang