JEJAK 9

12 12 0
                                    

Neina merapikan bandana merah muda yang dipinjamnya dari Nila. Hari ini dia ada janji dengan Romeo. Ya, cowok itu menyanggupi untuk mengantar Neina wawancara dengan rektor Universitas Era Jaya. Dan di sinilah dia sekarang, di depan pintu gerbang sekolah, menunggu kedatangan sang cowok idaman.

Sesaat kemudian, sebuah motor matic berhenti tak jauh dari Neina. Seorang cowok turun seraya melepas helm, menampakkan wajah tampan tanpa cela. Tak hanya Neina yang terpana, melainkan para murid cewek yang sedang menunggu jemputan pun tak berkedip menatapnya. Cowok itu menghampiri Neina.

"Sorry, lama. Tadi masih ada kelas."

Neina menggeleng. "Enggak apa-apa. Aku baru aja keluar kelas, kok," jawabnya berdusta. Padahal dia sudah berdiri selama lima belas menit.

"Pak Rektor hanya memberi waktu wawancara tiga puluh menit. Kita beruntung, biasanya beliau tidak ada waktu," tutur Romeo. Dia melihat kaki kanan Neina. "Kaki lu udah sembuh?"

Neina mengangguk. "Nyerinya udah hilang. Aku enggak pakai kruk lagi."

"So, gua enggak perlu gendong lu lagi, kan?" tanyanya menggoda.

Neina tersipu-sipu. "Yuk, pergi. Nanti telat."

Romeo tergelak mendapati ekspresi Neina. "Oke."

***

"Setelah ini Kakak mau langsung ke tempat bimbel?" Neina bertanya sambil mengaduk milkshake-nya menggunakan sedotan. Setelah wawancara selesai, mereka pergi ke sebuah restoran fast food untuk mengusir lapar.

Romeo menggeleng. Tangannya mengambil kotak rokok. Lalu, disulutnya sebatang benda silender itu dengan korek. Bibirnya mengisap kuat-kuat rokok itu. Tiga detik kemudian, kepulan asap keluar dari hidung dan mulutnya.

Melihat hal itu, ada sedikit rasa kecewa di benak Neina. Dia tidak begitu suka dengan kebiasaan merokok. Namun, dia tidak bisa melarang Romeo, sebab saat ini mereka hanya sebatas teman.

"Hari ini gua enggak ada jadwal ngajar." Romeo mengetukkan batang rokoknya ke asbak, sehingga abunya berjatuhan. "Tapi gua bisa antar lu ke sana, dengan catatan gua turunin agak jauh dari tujuan." Romeo mengisap lagi rokoknya. "Sebab ada aturan kalau pengajar di sana enggak boleh pacaran sama siswa. Gua enggak mau mereka salah paham ngelihat kita boncengan."

"Enggak masalah."

"Oke, lu abisin dulu tuh minuman."

Neina mengangguk senang.

***

Neina merebahkan tubuh ke ranjang. Ponselnya melekat pada telinga. Dia tengah bertelepon ria dengan Citra usai mengirimkan artikel mengenai Universitas Era Jaya padanya.

"Gua selalu percaya kalau artikel buatan lu bakal kece badai," puji Citra di ujung telepon. "Gua juga salut sama Kak Romeo yang sampai mau nyariin data juga."

Mendengar nama cowok itu disebut, jantung Neina berdetak lebih cepat. "Dia emang cowok baik."

"Iya, tapi jangan terlena, Nei. Lu masih ingat nasihat gua, kan?"

"Iya, Citra. Lu tenang aja. Gua enggak bakal macem-macem." Neina menegaskan. Jujur, dia merasa tidak senang bila Romeo dicurigai seperti itu. Seakan-akan dia itu cowok brengsek.

"Oke, lu istirahat aja. Gua mau lanjut perikasa artikel lain. See you tomorrow."

"See you."

Baru saja Neina memutus sambungan telepon, tiba-tiba ada telepon lain yang masuk. Rupanya nomor Romeo. Saking senangnya, dia sampai bingung. Setelah mengambil napas, dia menerima telepon itu dengan berdebar-debar.

"H—halo."

"Halo, Nei. Gua ganggu lu, enggak?"

"Eng—enggak, kok. Ada apa, Kak?" Saat ini Neina gugup setengah mati. Namun, dia mencoba bersikap setenang mungkin.

"Pingin ngobrol aja. Boleh, kan?"

"Boleh, Kak."

Neina seperti tengah berguling-guling di hamparan bukit berbunga. Hatinya melambung tinggi ke langit merah jambu. Walhasil, dia membicarakan banyak hal dengan sang cowok pujaan hingga larut malam.

JEJAK NEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang