Pagi yang indah. Matahari muncul di sela-sela gedung-gedung kota, menyinarkan kuasa hangatnya yang merah, menyelesup ke dalam kamar hotel tempat Ben menginap. Shangri-la. Gorden yang sedikit terbuka membawa pesan dari sang penguasa, bahwa hari telah pagi. Jam 09.00. Erna menggeliat di sebelah pria yang telah menunjukkan kejantanan dan keperkasaannya kepada Erna. Wanita bertubuh padat dan masih berumur dua puluh tujuh tahun ini tersenyum nakal memandang sang pria, entah berapa kali malam itu dia mendapat orgasme. Kepalanya yang masih terlalu pening karena cocktail dan shots yang direguknya tadi malam, tak mampu mengingatnya lagi. Tetapi masih merasakan kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Ben menimpali pandangan itu tak kalah nakal tapi penuh sayang, mengecup bibir Erna. "Bau ah," desah erna, keduanya belum gosok gigi.
Mereka mandi berdua pagi itu, seperti pasangan burung angsa di danau atau kana-kanal di Belanda, saling menyirami pasangannya dengan sayap-sayap mereka. Tentu saja Ben dan Erna memakai tangannya karena tidak punya sayap. Romantis sekali. Bahagia sekali. Mereka makan pagi bersama di kamar seperti pasangan yang berbulan madu, room service dua kali karena mereka tidak makan siang, sibuk dengan bercinta, bahkan tidak meninggalkan kamar hotel itu sampai hari berikutnya. Hari Minggu.
Erna mengajak Ben kerumahnya, tempat dia tinggal dengan orang tuanya, yang hanya sesekali di jumpai, bisa di hitung dengan jari-jari lentiknya dalam sebulan. Entah lah, tapi Erna sudah tidak keberatan lagi seperti waktu dia masih kanak-kanak. Erna tidak ingin tahu apa yang dilakukan orangtuanya selain menjadi Bapak dan Ibunya. Erna sudah dewasa dan tak menuntut apapun dari mereka dan juga tak mau mereka menuntut apa pun dari dirinya.
***
Seorang pembantu berlari-lari membuka pintu pagar ketika Erna membunyikan klakson mobilnya. Ben tidak enak melihat pemandangan itu. Perempuan muda membungkuk-bungkuk berjalan tanda menghormati majikan, seperti jaman penjajahan, pikir Ben. Erna memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah, tidak terlalu lebar halaman itu tapi cukup untuk empat mobil.Rumah Erna besar dan cantik, tapi hampa. Hanya ada pembantu dan kadang-kadang mbak Kusty, nanny Erna sewaktu kecil, yang masih lebih kangen dengan Erna daripada orangtuanya sendiri.
Pembantu Erna sudah terbiasa melihat banyak pria yang di bawa Erna, Ben bukan bule yang pertama kali masuk kerumah itu. Tidak ada yang aneh.
Erna dan Ben betul-betul jatuh cinta, Erna tidak pernah menemukan pria sehebat Ben, good in bed dan sangat memerhatikannya. Dia bisa merasakan ketulusan hati Ben. Mereka bersama hampir setiap hari sehabis kerja. Maka ketika kunjungan Ben di Surabaya yang hanya sebulan akan berakhir, dia meminta Erna untuk mengikutinya ke Belanda. Erna menyetujuinya tanpa berpikir panjang atau meminta persetujuan dan pertimbangan siapapun, termasuk orangtuanya. Memang dia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi. Ketika orangtunya mengetahui dua bulan sebelum keberangkatan Erna ke Belanda, mereka juga tidak keberatan anaknnya pergi. Tidak ada alasan untuk seorang gadis meninggalkan negaranya tanpa kesedihan, kecuali Erna.
Untuk apa tinggal di rumah yang besar dan kosong oleh cinta dan perhatian. Sudah berapa pria yang meninggalkan dan di tinggalkannya. Perjalanannya mencari cinta dan pasangan hidup sudah terlalu panjang, ini adalah kesempatannya memperoleh cinta dan pria pendamping yang di harapkan.
Ben telah kembali ke Belanda terlebih dahulu. Erna akan menyusul lima bulan kemudian setelah pengurusan visa tinggal selesai. Perpisahan itu sangat menyakitkan, penuh tangis dan kesedihan. Malam sebelumnya mereka menghabiskan waktu di ranjang, bergulat erotis berdua, lagi, lagi, lagi dan lagi sampai mereka tak ada tenaga lagi. Barangkali berjaga-jaga supaya selama perpisahan tidak memerlukan sex sampai mereka bertemu kembali.
Semua persiapan untuk berangkat telah siap. Mama Erna mengantarnya ke airport. Tetapi Erna tidak begitu senang karena perempuan ini menasehatinya sepanjang jalan. Namanya juga Ibu. Sebetulnya itu bukan nasehat seorang Ibu, tapi sebuah harapan dari seorang Ibu yang takut anaknnya menjadi melarat.
"Semoga Ben berduit, kalau tidak ngapain kamu jauh-jauh ke Belanda," sindir mamanya.
"Dan kalau tidak," pancing Erna.
"Tinggalkan dan cari yang lain," cecar Mama. Erna menanggapi dengan menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya sepanjang mungkin. Tidak perlu dijawab, pikirnya, hanya akan menjadi pertengkaran. Erna Bahagia akan meninggalkan perempuan ini, Ibunya. Tidak akan lagi ada perseteruan diantara mereka. Sejak kecil Erna tidak pernah dekat dengannya.
Ingin rasanya Erna menanyakan pada perempuan itu, apakah dirinya bahagia dengan uangnya? Dengan pernikahannya yang tanpa cinta? Tapi dia tidak punya keberanian, hatinya sudah tertekan sejak kecil. Perempuan ini memang melahirkannya tetapi perhatian dan cintanya hanya untuk dirinya sendiri, bukan untukku, batin Erna. Mungkin Ibu masih menyayanginya karena masih mau mengantarkannya ke airport, pernyataan batinnya.
Ibu mencium dan memeluk Erna, tidak pernah mereka melakukan itu seumur hidup. Sedikit canggung, mereka tidak sedih untuk berpisah tapi terharu oleh pelukan mereka. Mengapa mereka tidak pernah berpelukan? Batin mereka masing-masing. Semua sudah terlambat, Erna harus pergi. Meninggalkan rumah kosong tanpa cinta.
***Hari masih pagi dan dingin ketika pesawat mendarat di Schiphol, tetapi sudah terang. Tanggal 25 April 2006. Udara yang bagus untuk kedatangan Erna, Belanda yang terkenal dingin mengalami perubahan cuaca. Jauh lebih panas daripada tahun-tahun berikutnya. Global warming, kata orang pintar. Untuk itu mereka menuntut perubahan gaya hidup, lebih irit dan tahan lama untuk menekan perubahan cuaca di dunia. Temperatur hari ini akan mencapai 21˚ Celsius, terlalu hangat di bulan April yang rata-rata 18̊̊ Celsius.
Ben sudah siap di depan pintu kedatangan menyambut cintanya, Erna Astari yang dirindukannya berbulan-bulan. Dia sudah tak sabar ingin bertemu. Selama berpisah, mereka berbicara melalui telepon hampir tiap hari. Menceritakan semua hari-hari mereka, dari pagi sampai malam, tentang persiapan dan proses visa ke Belanda yang membutuhkan banyak syarat surat-surat dan tes ujian Bahasa Belanda. Erna wanita yang cerdas, cepat menangkap dan belajar. Dia bisa lulus tes Bahasa dengan cepat.
Erna keluar dari ruang kedatangan lengkap dengan empat kopor-kopornya yang besar, sampai dia harus membayar lebih karena kebanyakan bawaan. Dia membawa baju-baju mahalnya yang sexy, sepatu, tas dan semua aksesori serta perlengakapan make up, tidak menyangka Belanda akan terlalu dingin untuk pakaian sexy itu. Ben menyambutnya dengan tangan terbentang, merangkul gadisnya yang menawan. Gadis yang akan menghiasi hari-hari dalam hidupnya. Ben tidak berani terlalu banyak berharap kepada Erna, tapi setidaknya dia ingin mencoba membantu Erna merasa seperti di negeri sendiri. Ben ingin membahagiakan Erna, membangun hubungan yang baik. Menjalin hubungan yang selaras dan penuh cinta dan kehangatan seperti orang tua Ben sendiri. Itulah harapannya. Mereka berpelukan mesra, berciuman lama di depan pintu kedatangan, melepas kerinduan mereka tapi tidak ada yang melongo melihatnya. Ini Belanda, orang berciuman itu wajar.
❤️
Terimakasih telah membaca tulisan saya. Jangan lupa vote dan sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Kesepian
قصص عامةMathias Cornelius Fransiscus van Muller (Belanda) dan Chandramaya Arini (Jawa) memutuskan kembali ke Belanda untuk meneruskan pendidikan MBA di Eropa setelah beberapa tahun menetap di Singapore karena tugas kerja Mathias. Mathias adalah lelaki yang...