"Aku rela menyerahkan jantung ini untuk adikku."
"Turunkan senjatanya, Kak. Hoseok takkan menerimanya. Semua akan sia-sia."
"Kenapa harus adikku? KENAPA?"
Dor
"Kak Tae!"
.
.
."Tidak, tidak! Semua akan baik saja. Ya, baik saja. Tidak! Tidak. Bagaimana ini ..."
Jungkook terus meracau dalam ketakutan, suaranya bergetar dengan tremor di sekujur tubuh.
"Koo, ada apa?"
Taehyung meremat tangan Jungkook dalam genggaman, bertanya lewat tatapan teduh matanya. Remaja itu bisa melihat manik bambi sang Albarka yang gelisah berkaca-kaca.
"Semua akan baik saja, kan? Tolong katakan itu!"
Taehyung tersenyum dan menjawab penuh keyakinan, "semua akan baik saja."
Ia rengkuh yang lebih muda dalam pelukan, membisikkan banyak kata penenang hingga Jungkook tak lagi gemetar.
Waktu berdetak menggilas detik yang berjalan cepat, menyadarkan jiwa yang sesaat terlelap dalam tenang.
"Koo, mau ke mana?" tanya Taehyung pada Jungkook yang tergesa turun dari ranjang.
"Aku harus pergi," jawabnya gusar.
"Tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku," cegah Taehyung yang segera berlari menghadang di pintu.
"Tolong, Kak. Ini sangat penting, jangan halangi aku."
"Aku ikut!"
"JANGAN." reflek Jungkook mencegah. "Maksudku, Kak Tae tunggu saja di sini. Tolong telpon ibu dan jak Yoon untuk segera ke taman belakang rumah sakit."
"Kenapa?" Taehyung masih kukuh tidak memberi jalan pada Jungkook.
"Kak Daewon, dia berusaha bunuh diri dan memberikan jantungnya pada Hoseok."
Mulut Taehyung terbuka dengan kedua alis terangkat. "Kau bercanda, kan?" tanyanya tergagap setelah tersadar dari keterkejutan.
"Kak!" gertak Jungkook kesal.
Sungguh remaja ini tak habis pikir dengan jalan pikiran si pemilik senyum kotak. Ayolah, ia tak kan bergurau untuk keadaan genting seperti ini."Iya, Maaf. Daewon kakaknya Hoseok, kan? Kita harus mencegahnya! Aku tak bisa membiarkanmu sendiri. Aku ikut."
"Kak Tae, aku mohon. Sekali ini saja, dengarkan aku."
"Aku sering mendengarkanmu, Koo, apa kau lupa? Kau menyembunyikan sesuatu?" tanya Taehyung penuh selidik.
"Tidak!" jawab Jungkook mengangguk.
"Bohong! Bahasa tubuhmu tak mengatakan itu. Kau jawab tidak tapi kepalamu mengafirmasi¹."
Untuk sejenak suasana menjadi hening dan suara penuh pengharapan memecah kesenyapan.
"Kak Tae, kali ini saja, turuti aku. Tunggu di sini dan semua akan baik saja."
.
.
.Jungkook menemukannya.
Pemuda dengan senjata api laras pendek dalam genggaman tangan gemetarnya, duduk gelisah arahkan pistol ke pelipis. Sepucuk surat ada di satu tangan lain, teremas tak berbentuk."Kak Daewon?"
Jungkook jalan mendatangi dan berdiri beberapa jengkal dari lelaki yang menunjukkan ekspresi terkejut akan hadirannya.
"Aku Jungkook, teman Hoseok."
"Jangan mendekat! PERGILAH," usir Daewon.
"Kak, jangan lakukan! Adikmu pasti sedih bila melihatmu seperti ini."
Daewon tersenyum miris, namun menangis tanpa suara.
"Dua puluh empat tahun aku hidup seperti yang kumau. Aku bisa bersekolah, bermain, bebas melakukan olah raga yang kusuka tanpa khawatir rasa sakit menyerang."
Barisan kalimat ungkap perasaan nya.
"Hoseok—Dia impikan semua hal yang kulakukan. Kau tahu? Anak itu bahkan tak pernah mengeluh. Dia selalu mengatakan 'aku baik saja', 'aku bahagia' hanya agar kami tenang."
Pada akhirnya tangis itu pun pecah, suarakan rintihan pilu.
"Aku membaca buku diary-nya. Dia memohon pada Tuhan untuk memberinya waktu walau hanya sehari tanpa rasa sakit untuk melakukan semua impiannya."
Tatap Jungkook dengan manik sayu, Daewon serukan hasratnya.
"Aku rela menyerahkan jantung ini untuk adikku. Sudah cukup aku menikmati indahnya dunia, kini saatnya Hoseok merasakan juga," ucapnya lirih.
"Tapi Hoseok takkan menerimanya," sela Jungkook.
"Dia akan menerima. Jantungku cocok untuknya. Aku juga telah menulis pesan pada orang tuaku untuk mengatakan bahwa kecelakaan lah yang merenggut nyawaku, jadi ia tak akan hidup dalam penyesalan."
"Bukan karna itu!" Jungkook berusaha kuat menjelaskan.
"Tubuh Hoseok menolak jantungmu. Dia akan meninggal tanpa sempat tersadar. Orang tuamu lah yang paling menderita karna kehilangan kedua anaknya. Pengorbananmu akan sia - sia, Kak!"
Daewon menggeleng, menolak apa yang ia dengar namun hati kecilnya pun sadar siapa gerangan Jungkook— peraba masa depan.
"Kenapa harus adikku?" rintihnya menyayat.
"Seandainya aku bisa memberimu jawaban, Kak. Tapi kita tak bisa mempertanyakan sebuah takdir dan menguggat Tuhan."
"Hoseok punya impian dan kau bisa mewujudkannya, kan?" Suara berat tiba - tiba menimpali percakapan keduanya.
"Kak Tae, Kenapa di sini?" tanya Jungkook berbisik cemas. "Aku kan sudah bilang—"
"Tapi aku tak bisa biarkanmu dalam bahaya," sergah Taehyung.
"Bukan aku. Tapi—"
"Kau yang dalam bahaya, Kak Tae."
Sementara Albarka dan Hira adu argumen, mereka tak menyadari bahwa sang waktu telah memainkan perannya.
Daewon dalam keguncangan jiwa tidak sengaja menjatuhkan pistol yang telah dikokang tanpa pengaman dan melesatkan pelurunya..
.
."Joon ..."
Yoongi menahan tubuh limbung Namjoon dan memapahnya duduk di kursi. Keduanya terdiam menyadarkan diri bahwa yang terjadi bukanlah mimpi.
Semua, terlalu tiba - tiba.
Setelah menerima telepon dari Taehyung— Yoongi, Hana dan Namjoon bergegas menuju taman belakang rumah sakit namun suara tembakan menyambut langkah mereka. Lalu yang terjadi menjadi mimpi buruk nan terekam kuat dalam ingatan.Jungkook yang tergeletak pingsan di tanah dan senyum kotak itu... yang terakhir Namjoon lihat sebelum tubuh sang adik oleng dan berakhir dalam pelukannya, tak sadarkan diri sekeras apapun dia memanggil. Kepanikan menyeruak saat Namjoon menyadari cairan kental berwarna merah berlomba keluar dari kepala Taehyung.
.
.
.Bersambung^^
19102019Maaf ya abang Jungkook, vision-mu kali ini tak membantu. Efek patah hati karna kamu potong rambut :"(
Mana suaranya?
Pilih Taehyung perpanjang kontrak di Albarka atau diakhiri saja?Catatan kecil:
¹Afirmasi: mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ALBARKA
FanfictionMembaca masa lalu Meraba masa depan Sang Albarka mengurai benang takdir yang tersimpul lalu terluka dan Hira memulihkan. BTS OT7 Brothership Story