: 02 : Sang Bintang (a)

1.4K 26 15
                                    

Insta: @mercapada
Karawang, 19 Oktober 2019

•••

Hawa dingin menggelitik tubuh. Siang berpulang, malam terpampang. Cakrawala tak lagi menampakkan senja di pelupuk mata. Namun kini, rembulan berdayang bintang-gemintang tengah memimpin angkasa.

Bulir air pada dedaunan menitik bening. Bukan embun. Sore tadi kota Bayang dinaungi hujan. Tidak lebat. Namun cukup untuk membuat jalanan dan dedaunan kuyup. Sungguh membuat syahdu.

Orang-orang masih beraktivitas seperti biasa. Pendagang kaki lima yang ajek di pinggiran jalan besar. Muda-mudi berlalu-lalang. Saling menyapa, saling bercengkerama. Bahkan, masih ada yang berbicara pada pohon bak seorang idiot. Semuanya masih sama. Namun tidak berlaku bagi "Sang Bintang".

Ruang pengap berbau busuk. Gelap sejauh pandang, sunyi sejauh dengar. Tak terasa pula ini siang atau malam. Siang gelap, malam pun tetap gelap. Dengung nyamuk yang saling bersahutan membuat jengah. Namun "Sang Bintang" tidaklah bodoh. Dengan mengandalkan cahaya, mereka menulis entahlah. Bukan cahaya dari senter---tidak terpikir senter saat bertugas. Namun benar-benar cahaya yang keluar melalui telapak tangan.

Aure mendengus sembari menekan hidung. Berujar dengan suara sumbang yang aneh. "Kataku juga apa. Kalau kalian memilih rencanaku, kita tidak akan terperangkap di ruangan terkutuk ini!" Berkata sebal kepada ketiga sahabatnya.

Seorang pria dari keempat kerubung itu angkat suara. "Aure, jangan banyak bicara! cepat gunakan kekuatan udaramu!" memerintah, pemegang kuasa. Gadis bernama Aure mengangguk malas tanpa bicara. Seketika ruangan kecil itu semerbak berwangi bunga mawar. Kerubung menghirup udara banyak-banyak. Tidak segar. Namun lebih baik daripada menghirup bau bangkai.

Embun menggelar denah kertas pada lantai yang bergerinjulan.

Bara berujar pada pria tadi yang memerintah. "Merca, apa rencanamu?"

Merca mendongak. "Setelah kuamati, kurasa pukul 01.15 dini hari paling cocok untuk beraksi." Kemudian kembali menunduk mengamati Embun yang tengah menggurat denah dengan pensil.

Aure melipat dahi. Merasa tidak sependapat dengan Merca. "Apa pertimbanganmu?"

Merca menjawab, "Dipukul-pukul begitu, penjagaan lebih longgar."

Aure mendengus. "Bagaimana kalau para setan itu memang tidak istirahat?"

Merca mengangkat sudut bibir. Merasa tertantang akan kesinisan Aure. "Aku punya kemampuan ekolokasi dan memiliki penglihatan tajam yang tak kalah dengan kelelawar, omong-omong," ujarnya, mengangkat kedua alis menyombongkan diri. Aure berdecap sebal. Tapi memang kemampuan Merca dapat diandalkan.

Setelahnya lengang. Embun menyimpan pensilnya. Menyeka peluh pada dahi. Tersenyum puas pada denah yang kini dipenuhi coretan pensil. "Aku akan mulai menjelaskan. Ini merupakan denah Rilyn (Markas bandit besar yang licin hukum). Di sebelah utara markas, terdapat lorong yang terhubung pada pintu besi, tempat yang kita cari. Dapat dipastikan, di sana memiliki penjagaan yang ketat." Embun menunjuk-nunjuk menggunakan jarinya dengan lihai. Setelahnya kerubung terlarut dalam rencana.

Merca menyimpulkan di akhir diskusi. "Jadi, kita sepakat maju terpisah." Merca menatap satu-persatu sahabatnya. "Siap?" Ketiganya mengangguk patuh. Mengundang senyum Merca. "Sekarang!"
Mereka berpencar dalam gulita ....

, ‛ ~ KOTS ~ ’ ,

"Bodoh!" rutuk pria yang duduk di atas single sofa yang super mahal. Pengikutnya menciut ngeri. Namun tetap tegap berdiri dengan wajah tertunduk melihat lantai marmer yang mengkilap. "Bagaimana pula mereka dapat masuk?" lanjutnya. Memelotot marah. Iris biru terangnya bagai berapi menyala-nyala. Pengikutnya bungkam, bingung memberi jawab. Lantas pria kekar yang tengah duduk tertawa renyah. Menggema. Sampai-sampai bawahannya bercucuran keringat dingin. "Masa bodohlah! Tidak mudah keluar dari sarang binatang buas." Menyeringai bangga seraya melihat bola bening yang menampilkan letak "Sang Bintang" yang ternyata sedang beraksi di dalam kandangnya.

, ‛ ~ KOTS ~ ’ ,


Para remaja itu menjejak lorong utama tepat waktu. Napas mereka saling bersahutan dalam hening. Pemanasan yang cukup menguras keringat. Tidak mudah melumpuhkan para penjaga. Tangan Aure saja hampir patah ditarik kuat-kuat. Bara yang hampir mati ditembak pistol. Embun yang disudutkan namun berhasil menumpas sepuluh penjaga seorang diri. Atau bahkan, Merca yang hampir dijadikan kudapan breakfast.

Mereka berjalan berbarengan menuju pintu besi. Embun menghancurkan gembok tebal. Mereka serempak mendesah lega---setidaknya tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Bara dan Aure berjaga di luar, sedang Embun dan Merca berjalan lebih dalam. Keduanya melangkah pelan sembari menerawang, takut-takut menginjak ranjau atau semacamnya.

Tiba di dalam, ruang luas dengan pencahayaan sedang dan sedikit perabotan. Jendela besar dengan gorden sewarna putih gading panjang dibiarkan terbuka lebar-lebar, menampakkan langit yang tak lagi berderai. Terlihat jelas rembulan bulat besar terlukis menawan tanpa bintang-gemintang. Benda yang mereka cari ada di tengah-tengah ruangan. Merca dan Embun saling pandang. Mengangguk serempak. Sebelum tangan Merca mencapai dinding kaca, suara dentuman dari belakang mengagetkan keduanya.

Badan mereka berbalik serempak. Memasang kuda-kuda dengan tangan mengepal di depan dada. Terbelalak. Kedua tubuh sahabat mereka telah terkulai lemas di atas lantai. Terbatuk-batuk. Mengerang sakit sembari memegang dada masing-masing. Belum sempat mereka mencerna apa yang terjadi, terdengar suara derap pantofel yang beradu dengan lantai marmer. Berjalan mendekat dengan santai namun terasa mengintimidasi.

Mereka menatap keluar dengan waswas. Tibalah seonggok tubuh kekar nan tegap tertangkap penglihatan. Pria itu menarik sudut bibir. Ialah Riez Alfonso, pemimpin bandit licik yang telah mengambil berlian Dlyk (Berlian langka yang memiliki harga selangit) yang tersimpan di Museum Kota. Berlian tersebut merupakan peninggalan leluhur kota Bayang yang amat dilindungi.

Riez memandang remeh keempat remaja tanggung di depannya (usia mereka lebih kurang 17 tahun). Boleh jadi usia Riez tak dapat dikatakan muda---kepala empat. Namun kekuatannya di atas rata-rata, tidak mudah dikalahkan.

Pria itu bertepuk tangan sembari terkekeh kecil. "Berkunjung, Nak? Ah ... kalian begitu menggemaskan." Sedetik kemudian tertawa lepas. Diam-diam, para remaja merapat, membentuk benteng pertahanan.

Merca mendengus. Berujar dingin, "Wanna play?" Kemudian petir menyalak garang di luar ruangan. Mata keempat remaja itu berkilat-kilat. Riez tersenyum. Tiba-tiba dari arah kanan Riez melesat anak panah. Secepat kilat. Dengan mudah pria itu menangkap anak panah yang hampir mengenai kepala. Sedetik kemudian gosong. Berjatuhan menjadi debu. Para remaja terbelalak. Namun kembali berwajah normal. Embun ganti menyerang. Mengalirkan air yang seakan berlari menuju Riez. Air itu terpecah. Terbentuklah stalaktit dan stalagmit tajam yang keluar dari atap-atap ruangan dan lantai marmer. Namun benda-benda tajam itu hancur berkeping dengan sekali hentakan oleh Riez. Riez mengepalkan kedua tangan, mengangkatnya ke udara. Benda-benda di sekitar melayang.

, ‛ ~ KOTS ~ ’ ,


RizAfelus
©2019

King of The Sky [Antologi Cerpen Fantasi] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang