Dua jam penuh.
Raena bahkan tak tahu ia bisa menahan gejolak asing selama itu saat ia duduk bersama Jimin di bus tadi. Sebenarnya setelah ia berusaha terbiasa, hal itu terasa menghilang sedikit demi sedikit. Masih dengan senyum kecil yang serasa tak pernah lelah diperlihatkan oleh laki-laki itu, Jimin hanya mengobrol ringan tentang sekolah, pemandangan disepanjang jalan hingga hobinya mengoleksi polaroid.
Sebenarnya Raena ingin menanyakan tentang tak ada kabarnya laki-laki itu sewaktu di sekolah menengah atas, kepergian mendadaknya dan apa yang terjadi padanya selama kurun waktu itu. Tapi, memikirkan lebih jauh Raena merasa bukan ide yang bagus untuk mengungkit masa lalu. Apalagi ia tak tahu apakah saat kurun waktu itu terjadi hal baik atau malah sebaliknya. Jadi, masih mengobrol santai ia membiarkan Jimin memegang kendali untuk memilih topik pembicaraan. Dan selama itu tak ada hal yang aneh seperti yang ia takutkan. Tidak, ralat. Bukan takut, tapi hanya sebuah rasa tak nyaman saat Jimin berada didekatnya dengan perhatian yang sangat asing baginya.
“Raena!”
Crek
“Ah! Aku belum siap!” Si Son setengah berteriak. Melihat Jimin mendadak memfotonya melalui kamera yang dibawanya sedari tadi.
“Tenang, kau tetap cantik kok,” Jimin malah memandangi kameranya dengan puas. Tak menggubris ekspresi gadis didepannya yang berubah masam.
Ah, terserah. Batin Raena yang masih merasakan sengatan pegal akibat perjalanan selama dua jam.
“Hei,jangan marah. Oke, bagaimana kalau kita ulangi? Ayo kita foto berdua!” Raena tak dapat menghindar saat Jimin yang antusias bergerak mendekat. Tangan pemuda itu dengan cepat merangkul pundaknya. “Say kimchi!”
Dan kamera polaroid Jimin telah menampakkan sosok mereka berdua. Ekspresi sumringah Jimin terlihat begitu kentara membuat Raena yang ingin melayangkan protes menjadi diurungkan.
Mengibas-ngibaskan polaroid itu sejenak,tak diduga Jimin lalu menyodorkannya kearahnya. “Ini, bagaimana kalau kau yang menyimpannya?”“Apa? Aku? Tidak, kurasa lebih baik kau saja yang menyimpan itu, bukannya tadi kau berkata bahwa kau suka mengoleksi polaroid?”
Jimin menimang-nimang sejenak, sebelum kembali menatap Raena dengan senyum yang sama. “Baiklah, kalau itu keinginanmu,” Dengan segera tangannya menyelipkan polaroid itu ke dalam tempat yang telah ia siapkan untuk tempat koleksi. “Kau sekamar dengan siapa? Kang Hyo Joo’kah?” ucapnya mengganti topik.
“Eh, bagaimana kau tahu?” Raena sedikit terbelalak kaget.
“Tenang, kenapa kau seperti mendengar cerita horror? Matamu melotot takut begitu,” Jimin terkekeh, tapi gadis didepannya masih berekspresi kaku, yang membuatnya menahan tawa. “Aku hanya menebak saja, jangan dianggap serius. Apa aku membuatmu takut?”
Sedikit, jika Raena boleh jujur. Tapi melihat Jimin kini terlihat bersalah, gadis bermarga Son itu berusaha mengatur senyum. “Ah, tidak. Tentu saja tidak.”
“Hehe, baguslah. Jika ada perlu kau bisa hubungi aku. Aku ada di kamar nomor tigabelas.” ucap Jimin sebelum benar-benar berlalu sambil melambaikan tangan. Meninggalkan Raena didepan penginapan. Sedikit menghela napas, gadis itu akhirnya berjalan memasuki penginapan dengan pikiran yang mendadak berkecamuk.
Apa tindakannya ini benar? Menghapus pagar pembatas bagi Jimin?
●♤●
Seperti yang dapat ia duga hampir semua orang memilih berdiam diri didalam penginapan daripada mengikuti acara yang seharusnya dilakukan setelah sampai disana. Entah apa yang direncanakan Hoseok hingga menulis daftar acara sore itu adalah pergi ke pantai. Apakah ia tak merasa pegal setelah perjalanan dua jam ke tempat ini? Sungguh, ia begitu energik.Jadi, jelas karena banyak orang akhirnya mengeluh maka acara hari itu menjadi dibebaskan, dan tentu orang yang memilih tetap pergi ke pantai adalah sang pencetus ide itu sendiri yaitu Hoseok dan orang yang selalu setuju akan pemikirannya— Namjoon ssaem serta beberapa orang yang berhasil dipaksanya entah dengan apa sehingga berhasil terbujuk untuk menemaninya ke pantai.
Menyisakan banyak orang lainnya duduk bersantai di sebuah pondok terbuka yang sudah tersedia disana, juga beberapa lainnya yang memilih tetap berada di kamar penginapan. Dan entah apa yang membuat Raena tidak memilih tidur melainkan bersandar pada salah satu kursi memanjang dibawah pohon dekat pondok. Mungkin karena ia tidak terbiasa dengan tempat ini sehingga rasa kantuknya juga lenyap.
Disapa sedikit cahaya matahari sore, ia membiarkan cahaya kuning kemerahan itu mengenai kulit, menyebarkan sedikit rasa hangat, menemaninya menunggu waktu makan malam. Sebelum salah seorang temannya berseru.
”Hei! Bagaimana kalau kita bermain game? Sambil menunggu waktu makan malam?”
Raena masih belum ingin beranjak.
“Kurasa itu ide yang sangat bagus, tapi game apa?” Sahut seorang lainnya yang nampak tertarik.
Si Son masih memilih memejamkan matanya, pura-pura tak mendengar. Kenapa orang-orang tak memanfaatkan waktu santai dengan baik?
“Hei Raena! Apa kau punya ide?” Teriak Hyojoo. Sial, gadis itu merusak rencananya untuk pura-pura tak peduli.
Setengah menoleh Raena berucap santai, “Tidak. Ini aku sedang memikirkannya,”
“Bagaimana kalau truth or dare?” Mendadak sebuah suara menjawab. Entah sejak kapan Jimin telah datang dan mengetahui ide bermain game itu tetapi, tanpa diduga semua orang menyetujui ide yang dicetuskan Jimin.
Dan lebih mengagetkan lagi, pemuda itu langsung berhasil menemukan tempatnya berada, menariknya untuk beranjak dari kursi. “Kau harus ikut,”[♤]
KAMU SEDANG MEMBACA
Eglantine || DITERBITKAN
Fanfiction[SEBAGIAN PART TELAH DI-UNPUB UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN] [PUBLISHED UNDER THE NAME: RAVEN] Dengan masing-masing luka, kenangan kelam dan tembok ketidakpedulian, Son Raena bertemu Kim Taehyung. Calon kakak tiri yang tanpa basi-basi melontarkan anc...