6. Debat

21 3 3
                                    

Hari ini adalah waktu perencanaan Jeni dimulai. Sepulang sekolah, ia akan mengajak Radit untuk membeli map, karena di koperasi sekolah katanya habis. Jeni berkali-kali membujuk Radit agar cowok itu mau menerima tawarannya. Bermodalkan alasan Pak Darmono, selaku guru fisika, yang sudah menyetujui izin dari Jeni, Radit akhirnya menerima ajakan cewek itu.

"Lo kok tiba-tiba ngajak gue, sih?" tanya Radit ketika mereka berada di parkiran dan akan menuju toko buku. "Tiga temen lo yang lain mana?"

Mendengar pertanyaan itu Jeni deg-degan bukan main. Jantungnya terasa seperti habis lari satu kilometer. Ia bingung harus beralasan apa agar challenge-nya tidak gagal. Belum dimulai, masa iya harus gagal?

"Em, itu...anu..." Jeni menggigit bibir bawahnya dalam. Ia menggantungkan ucapannya seraya berpikir dan berharap agar otaknya ini mudah terkoneksi.

"Jangan bilang, karena lo diam-diam suka sama gue?"

Radit biaa saja bicara sesantai itu, padahal dia mati-matian menahan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak cepat. Cowok itu juga menahan agar tidak terlihat gerogi di hadapan youtuber cantik yang disukainya.

"Eh? Pede abis, lo! Bukanlah! Orang kayak lo, mah, gue bisa dapet sepuluh di dunia ini. Tiga orang itu lagi gak mau diajak sama gue. Heran, gue." Jeni berdecak sebal.

Bersamaan dengan itu Radit memberikan helm-nya dan menyuruh Jeni untuk segera naik ke motornya.

"Lo udah rencanain ini, ya?" tanya Radit yang membuat Jeni bingung.

Otak Jeni sudah berpikir kemungkinan buruk yang terjadi, salah satunya Radit mengetahui challenge-nya bahkan sebelum dimulai. Tetapi dia harus bersikap normal agar Radit tidak curiga.

"Rencanain apa?" Jeni bertanya was-was.

"Lo saking pengennya gue anter beli map, pake gak bawa motor segala." Seketika Jeni menghela napas lega setelah mendengar perkataan Radit.

Jeni merasa ketakutan tadi sirna begitu saja. Tapi ... sepertinya dia masih harus memahami ucapan Radit. Bukan cuma menyukuri kemungkinan buruk tidak akan terjadi, sepertinya ada maksud lain dari ucapan Radit.

Ketika sudah menyadarinya, langsung saja Jeni memukul helm di kepala Radit sampai membuat cowok itu meringis pelan. "Sok tau, lo! Buruan jalan!" amuknya.

"Pegangan," perintah Radit.

Jeni menjawab ketus, tapi sebelum itu ia memberi peringatan, "Awas, lo kalo modus!"

Radit yang mendengar sekaligus melihat Jeni dari kaca spion nyaris tersentak. Bahkan jantungnya hampir copot. Jeni bukanlah tipe cewek yang gampang dimodusin, Radit harus pandai-pandai membuat cewek itu luluh.

"Terserah, sih. Mau pegangan ya silakan, kalau nggak ya tanggung resiko," ucap Radit santai ketika motornya keluar dari area sekolahan.

"Yaudah, iya ... Raditya Auriga!" Jeni terpaksa memegang sisi jaket yang dipakai Radit. Ya ... dia masih punya malu untuk memeluk Radit.

"Nah, gitu!"

Akhirnya Jeni pasrah. Walaupun batinnya menyesal seribu menyesal berboncengan dengan Radit. Satu fakta dari cowok itu, ternyata menyebalkan. Shafira pernah memberitahunya bahwa Radit itu kalem, tipe-tipe cool boy. Tapi sepertinya Jeni tidak menyetujui hal itu. Kapan-kapan dia bisa saja membuktikannya pada Shafira bahwa Radit sangat menyebalkan. Jeni harus kuat-kuat dan memasang mental baja jika dekat dengan orang itu.

Kalau bukan karena challenge, ogah gue, Dit!

Lima menit dikikis habis di perjalanan, akhirnya mereka pun sampai di toko buku Nahdiana. Jeni segera membeli apa yang disuruh Pak Darmono. Setelah membeli map sejumlah siswa di kelas, Jeni ikut mengantri di kasir, sementara Radit menunggu di luar. Hal itu Radit yang meminta, hitung-hitung balasan karena Jeni minta diantar ke toko buku. Jeni menyetujuinya, karena tidak mau terus merepotkan Si Menyebalkan itu.

Not Only ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang