8. Berhasil

11 1 0
                                    

Sejak kejadian diberi minuman oleh Jeni tiga hari yang lalu, pikiran Radit kemana-mana. Ia juga sering melamun bahkan menjadi lemot tiba-tiba. Seharusnya saat ini Radit tidak boleh terlalu terbawa perasaan. Apalagi sampai benar-benar jatuh cinta terlalu dalam dengan Jeni. Meskipun Radit memang menyukai gadis itu.

Di kantin pun, Radit kedapati melamun sampai tak sadar menuangkan kecap terlalu banyak pada bubur ayam milik Fero. Tentu saja Fero protes karena buburnya berubah menghitam. Sebagai bentuk tanggungjawab, Radit menukar bubur ayam miliknya dengan Fero. Meskipun dia tidak yakin akan menghabiskan semangkuk bubur ayam kemanisan.

Sikapnya itu membuat Fero keheranan. Tumben sekali Radit melamun, pikir Fero. Juna dan Nata juga berpikir seperti itu. Mereka mengenal Radit dua tahun lebih. Meskipun memang Radit agak pendiam, tapi cowok itu tidak pernah melamun seperti sekarang. Mereka bisa membedakan mana yang sedang melamun dan sedang berpikir. Yang tadi itu, jelas kentara sekali kalau Radit melamun.

"Lo sebenernya kenapa sih, Dit?" Nata membuka pembicaraan terkait perubahan sikap Radit yang dipikirnya aneh dan tidak seperti biasanya.

"Gak pa-pa." Radit berusaha menyembunyikan soal kegundahannya.

Ya, dia merasa ada yang mengganjal dua minggu terakhir. Tepatnya ketika Jeni mulai mendekatinya. Cowok lain mungkin akan merasa senang ketika cewek yang disukai mulai mendekatinya. Tapi, Radit tidak sepenuhnya merasa senang. Justru seperti ada hal yang aneh. Hal itulah yang membuat Radit kepikiran sampai melamun dan berakhir menjadi cowok payah yang terlalu memikirkan keadaan. Mau Jeni mendekatinya atau tidak, itu urusan Jeni. Radit tidak seharusnya sampai seperti itu.

Karena diserang pertanyaan oleh teman-temannya, Radit terpaksa berbohong kalau rasa buburnya tidak enak. Daripada ketahuan melamun--lagi--cowok itu memutuskan meninggalkan kantin dan mengundang semakin banyak pertanyaan di benak teman-temannya.

⏪⏸⏩


Jeni geram di tempatnya sekarang. Seharusnya dia sudah ada di kantin dan mengisi perut kosongnya. Sebenarnya dia bisa saja pergi sekarang, kalau saja Oci tidak meminta menungguinya. Jeni berkali-kali berdecak melihat Oci yang sedang menyalin tugas Bahasa Indonesia. Waktu istirahat sudah lima menit berlalu, tapi rasanya Oci malah semakin lama menulis.

Di samping Oci, Jeni terus mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil sesekali melirik jam dinding di kelasnya. Kalau bukan teman dekat, sudah Jeni tinggalkan dan memilih menitipkan tugasnya untuk sekalian dikumpulkan. Namanya juga Calysta Rosie, apa-apa harus ada temannya. Jeni semakin sabar ketika melihat Oci baru akan menulis nomor 4. Tugasnya memang ada limanomor, tapi, yang namanya Bahasa Indonesia pasti jawabannya panjang. Sampai istirahat akan berakhir lima menit lagi pun, Oci masih setia dengan kegiatan menyalinnya.

Sedari tadi Jeni terus saja mengomel dan menyalahkan Oci karena temannya itu malah asyik nge-fangirl saat diberi tugas tadi. Katanya kesempatan, mumpung gurunya tidak masuk.

Bayangkan, Jeni belum beristirahat hanya untuk menunggu Oci menyalin tugas. Sementara perutnya sudah konser meminta diisi. Shafira dan Jihan, mereka sudah duluan. Katanya males menunggu Oci, manusia super lelet. Kalau tidak karena kasihan, Jeni juga males. Sabar ... sabar!

"Lo tau, gak, kira-kira Bu Linda ada di mana?" tanya Jeni mulai melemah. Daripada urat-uratnya tegang karena emosi, Jeni memilih bertanya keberadaan guru Bahasa Indonesianya. "Mungkin beliau udah selesai urusannya," tebaknya.

"Ngapain lo nanya kek gitu? Bukunya kan tinggal taro di mejanya," sahut Oci.

Tumben bener.

"Nanya doang, anjir!" Jeni kebawa emosi lagi, karena sekarang dia yang kelihatan bego di depan Oci.

"Habis masuk kelas kita, biasanya dia ada di kelas sebelah atau nggak sebelahnya, sebelahnya lagi, deh!" Oci tersenyum senang ketika selesai menyalin tugas Jeni.

Not Only ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang