Entah mataku yang sedang mengalami halusinasi sesaat atau apa? Melihat wajah Elvano di depan ku saat ini membuatku tidak dapat berkutik. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi hangat tidak juga ramah. Mata kami hanya terus bertemu pandang dalam keheningan.
Aku yang seolah bersimpuh di bawahnya tidak kunjung juga menerima uluran tangannya. Sampai terdengar suara berat Elvano yang keluar dari bibir penuhnya membuatku kembali berdiri tegak.
"Gue tau apa yang lo alami saat ini."
Tangan ku bergerak mengusap sisa-sisa air mata di wajahku. "Lalu?" Aku terkekeh pelan. Balas menatap tajam dirinya. "Itu bukan urusanmu."
Elvano tersenyum culas. Tubuhnya yang tinggi menambah daya tariknya. Sangat sempurna ciptaan di hadapan ku saat ini.
Elvano mengambil dompet di saku celana belakangnya. Kemudian mengeluarkan sebuah kartu dan menyodorkannya ke arah ku.
Aku mengamati kartu berwarna hitam itu lebih dulu sebelum pandangan ku naik melihat si pemilik.
"Nih. Uang buat operasi adik lo."
"Aku gak butuh uang dari kamu!" tolak ku.
"Lo tuh miskin. Jadi gak pantes buat sombong!" kata hinaan itu keluar dari bibir yang sempat membuatku terbang meski dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pandangan ku menggelap menatap Elvano. Kemarahan semakin menguasai diriku.
"Bukan berarti, orang miskin gak punya harga diri bukan? Saya gak butuh belas kasihan dari kamu!" kataku. Tidak betah berlama-lama berada dekat dengannya, aku langsung melangkahkan kaki ku pergi menjauh.
Dalam ke marahan yang menguasai diriku saat ini, hanya nama Veni yang terus terngiang di otakku. Aku berharap dia mau membantuku untuk ini. Langsung saja aku mengambil ponsel di saku celanaku. Mendial nomernya dan beberapa detik kemudian kami terhubung secara tak langsung.
"Veni?"
"Ale. Ada apa? Tumben sekali kau menelpon?" katanya di sebrang.
Sekuat tenaga aku menahan tangis. "Apa kau bisa menolongku?"
"Tentu saja. Apa yang perlu ku bantu?"
Ku basahi bibirku sejenak untuk memberi jeda. "Aku butuh uang untuk operasi Alesha."
"Ya Ampun! Kau sekarang dimana?" nada suara Veni yang tadinya teratur kini berupah panik.
Aku menyebutkan rumah sakit Alesha di rawat. Dan setelah tau lokasi ku berada, Veni memutuskan panggilannya dan mengatakan akan segera datang kemari.
Aku mengusap wajah lelah ku. Kemudian tanganku bergerak turun mengusap perutku. Aku lupa bahwa aku belum sempat makan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, aku tidak boleh egois, meskipun enggan untuk menelan makanan, tapi harus ku lakukan demi bayiku.
Pandanganku yang semula menunduk kini terangkat dan langsung bertemu pandang dengan Elvano yang tak jauh berdiri dari tempatku saat ini. Apa sedari tadi pria itu memperhatikan ku? Sebenarnya apa yang diinginkan nya? Bukan kah dia tidak ingin bertanggung jawab sedari awal?
Andai saja raut wajah Elvano saat ini tidak datar, aku pasti akan mudah membaca pikirannya. Tapi pria itu begitu sulit di mengerti.
Elvano berpaling setelah beberapa menit kami saling memandang. Pria itu melangkah pergi meninggalkan ku lagi. Apa Elvano memang seperti itu? Selalu datang dan pergi kapan pun pria itu mau?
"Ale!" aku menoleh dan melihat Veni berjalan tergesa menghampiriku. Akhirnya Veni datang setelah setengah jam aku menunggunya.
Aku langsung berdiri menyambutnya. Veni memelukku sebentar sebelum menatapku serius. "Biayanya sudah ku bayar. Sebentar lagi Alesha akan di operasi. Kau tidak perlu khawatir lagi sekarang. Oh syukurlah kau menelfonku segera."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Alena [END]
Romance➡18+ sinopsis: Satu kesalahan yang dia lakukan malam itu semakin menjerat hidupnya memasuki lubang penderitaan. Alena Velysia, gadis miskin dan malang itu harus menanggung penderitaannya seorang diri. Alena Velysia harus mengandung anak dari Elvano...