Story of Alena || 07

30K 1.5K 75
                                    


Author POV.

Tidak ada pembicaraan di antara dua insan berbeda jenis yang kini duduk dengan jarak satu kursi di tengah-tengah mereka. Bibir mereka setia membungkam. Keheningan seperti lebih bersahabat di bandingkan kicauan tawa.

"Permisi?" sapa seorang dokter muda yang kini berdiri dihadapan mereka.

Alena berdiri menyambut dokter itu, tidak dengan Elvano yang masa bodo.

"Perkenalkan, saya Aric. Ada yang perlu saya bicarakan mengenai kondisi adik anda. Bisa ikut saya sebentar?" Aric tersenyum ramah penuh kehangatan.

"Bo-"

"Apa tidak bisa di sini saja? Lagi pula jarang sekali orang yang berlalu lalang disekitar sini. Cukup amanlah untuk membicarakan kondisi Alesha saat ini." tukas Elvano yang kini ikut berdiri dengan tatapan menantangnya. Hal itu cukup membuat Alena berkedip bingung.

"El, tidak masalah jika-"

"Menjadi masalah karena kalian hanya berdua dalam satu ruangan." lagi-lagi Elvano menentang.

"Hahaha.." Aric tertawa menyikapi perkataan Elvano. "Jika anda merasa saya akan bertindak yang macam-macam terhadap Alena, saya rasa apa yang anda pikirkan itu salah."

Elvano tersenyum miring. "Kalau emang gak berniat apa-apa, kok bisa tau nama Alena?"

Alena beralih menatap polos Aric. Merasa benar yang di katana Elvano.

"Saya sepupu Veni. Dia yang memberi tahu saya tentang Alena dan Alesha. Untuk itulah saya yang mengoperasi Alesha semalam." kini tidak ada lagi senyuman ramah di wajah Aric. Dia ikut balas menatap tajam Elvano. Begitupun Elvano.

Alena menarik ujung baju Elvano. Membuat perhatian pria itu beralih padanya. "Kamu kenapa jadi gini sih?"

"Gue tuh cuman mau nyelametin elo dari pria-"

"Elvano. Yang brengsek disini itu kamu." kata Alena menekan tajam. "Dokter Aric udah bilang kan, dia tau nama aku dari Veni. Lagian gak ada gunanya juga dia stalkerin aku cuman buat bertindak jahat sama aku. Dokter setampan Dokter Aric pasti banyak yang mau tanpa dia harus mencari target buat lawan mainnya. Jadi berhenti bertingkah seolah kamu peduli."

Rahang Elvano mengeras kuat. Merasa terhina mendengar rentetan kalimat yang tertutur dari bibir Alena. Bertingkah seolah peduli? Bagaimana jika dia memang peduli? Oh tunggu, benar. Untuk apa dia peduli dengan gadis miskin itu. Gak ada guna sama sekali.

Elvano memilih pergi membawa rasa kesalnya dari tempat itu. Mengabaikan tatapan resah Alena di belakang punggungnya.

Sekali lagi Alena menghela nafas pasrah akan sifat Elvano yang sulit di tebak nya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Aric khawatir. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu berusaha bersikap profesional dengan memegang kedua bahu Alena yang nampak menurun kelelahan.

"Saya baik-baik saja dok." jawab Alena mencoba tersenyum. "Jadi, bagaimana dengan kondisi adik saya?"

"Opersinya berjalan dengan lancar. Tapi dia masih harus membutuhkan perawatan. Paling tidak dia harus melakukan kontrol setiap satu bulan sekali. Sampai dia benar-benar pulih kembali."

"Apa dia sudah siuman?"

Aric tersenyum lembut yang mampu menghangatkan setiap jiwa yang melihatnya. "Dia masih terpengaruh obat tidur. Sebaiknya kamu pulang dulu saja. Wajahmu terlihat sedikit pucat." katanya sedikit merunduk memperhatikan wajah pucat Alena secara terang-terangan.

Membuat gadis itu memegang pipinya sendiri. Berdiri kikuk ketika di perhatikan intens oleh dokter tampan. "Saya baik-baik saja. Apa boleh saya menjenguk adik saya sekarang?" berada dekat dengan dokter Aric bukan suatu hal yang baik. Bukan karena jantungnya yang berdebar cepat seperti ia sedang jatuh cinta, hanya saja ke tampanan dokter Aric lah yang bikin tak kuat hati.

Story of Alena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang