Story of Alena || 12

22.1K 1.3K 35
                                    


Elvano. Ketika sedang mencari tempat yang jauh dari keramaian dan menyusuri setiap sudut rumah Aric yang begitu besar, dia mengeraskan rahangnya ketika mendengar suara seseorang yang begitu ia kenali. Fany. Tunangannya.

Matanya menggelap ketika melihat apa yang di lakukan gadis itu pada Alena. Ia lantas menerobos masuk saat suara rintihan kesakitan Alena semakin menjadi.

"El.." suara Alena yang lemah menyapa pendengarannya. Hatinya tercubit ikut merasa sakit.

"Vano?" ujar Fany, menegang di tempatnya berdiri saat ini.

Elvano memberikan tatapan tajam yang menghunus gadis itu. Ia melengos dan hanya memfokuskan pikirannya pada Alena dan calon bayinya.

"Aku ada disini." ujar Elvano mengapungkan lengan Alena pada lehernya. Sebelah tangan Elvano berada di lutut Alena. Dan dengan mudah Elvano menggendong Alena.

"Sakit, El. Dia kesakitan." lirih Alena menyurukkan wajahnya pada dada bidang Elvano.

"Gue peringatin lo buat gak nyentuh dia! Tapi berhubung lo udah berbuat nekat kayak gini, pertunangan kita batal." ujar Elvano pada Fany sebelum benar-benar meninggalkan gadis itu sendirian.

Fany menatap benci kepergian Alena yang berada dalam dekapan hangat Elvano. Dia bersumpah akan membalas penolakan Elvano terhadapnya.

Tak jauh dari tempat mereka, yang mana keberadaannya di sana ada karena merasa khawatir saat mendengar jerit kesakitan dari suara yang selalu membayangi pikirannya. Alena. Aric menatap datar punggung Elvano yang semakin menjauh sambil membawa Alena dalam dekapan pria itu. Tak ada yang tau apa yang di pikirkan dan di rasakan pria itu saat ini. Semuanya tak tergambar secara jelas. Begitu susah di tebak.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Elvano cemas begitu dia mendudukkan Alena di dalam mobil.

"Emh.. Cukup mendingan. Kurasa dia tidak mudah lemah nantinya." jawab Alena menyentuh perutnya sendiri.

Elvano mengamati. "Hemm. Kurasa dia akan jadi sepertimu nantinya. Tidak mudah di injak oleh siapapun." tangannya ikut memberikan usapan di perut Alena.

Yang anehnya usapan itu berdampak baik bagi janin Alena. Rasa sakit yang sempat Alena rasakan tadi semakin surut dan menghilang sendirinya.

"Tunangan mu tadi sempet bilang, kalau kamu keluar dari rumah kamu dan lebih memilih bayi ini." ujar Alena seketika teringat ucapan Fany.

Elvano yang masih berdiri di sisi pintu mobil, menghela nafas sejenak dan berjalan memutari mobilnya menuju kursi pengemudi.

Barulah ketika Elvano mendudukkan diri, dia menjawab. "Iya. Dan sekarang mungkin aku akan benar-benar menjadi orang miskin baru."

Alena mencoba menahan tawanya. Orang miskin baru? Apaan coba.

Elvano duduk menyamping menghadap Alena. Tangannya kembali ia letakkan di perut Alena. Mengusap penuh kelembutan.

"Dan sekarang, karena aku udah gak punya rumah, kamu harus mau menampungku."

Alena mengeryit. "Kenapa harus? Dan kenapa mendadak jadi aku-kamu? Bukan lo-gue lagi?"

"Biar semakin dekat." ujar Elvano memajukan wajah dan mendaratkan kecupan singkat di dahi Alena.

Jantung Alena berdebar cepat karena Elvano. Ia merasakan pipinya memerah saat ini juga. Mencoba berpikir keras untuk mengalihkan rasa groginya, tiba-tiba satu ingatan terlintas.

"Jadi? Alasan kenapa kamu menjadi supir pribadi Veni-"

"Untuk membelikanmu susu." jawab Elvano.

Apa ternyata Elvano sepeduli itu padanya? Ah tidak! Tidak! Hanya bayinya? Just baby.

"Kalau emang kamu sepeduli itu sama bayi ini? Kenapa waktu itu kamu berkata begitu buruk?"

Alena melihatnya, ketika mata Elvano terlihat redup.

"Percayalah bahwa saat itu hanyalah penyangkalan ku saja. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Tapi lari dari masalah kurasa itu lebih buruk. Untuk itu, biarkan aku disisi kalian-"

"Meski tanpa menikah? Kau sudah mengatakan itu." wajah Alena berpaling melihat luar kaca. Yang mana mereka masih berada di area rumah Aric.

"Kau boleh tinggal di rumah ku. Lagi pula aku tidak mau ambil resiko dengan merawat bayi ini sendiri. Dia juga tanggung jawabmu."

Tanpa dapat Alena lihat, Elvano tersenyum mendengarnya.

"Oh iya? Lalu bagaimana dengan kuliah mu? Apa orang tua mu masih mau membiayainya? Sepertinya ibu mu sangat jahat dan tegaan." ujar Alena tak menutup-nutupi rasa tidak sukanya.

"Dia memang tidak akan memberikan sepersen pun uang padaku. Tapi untuk uang kuliah? Aku salah satu mahasiswa yang menerima beasiswa." kalimat Elvano itu membuat Alena terbelalak.

Alena tergenun mendengarnya. "Serius?" pekiknya tertahan.

"Iya. Jadi aku tidak perlu khawatir soal itu. Lebih baik kita pulang sekarang." Elvano mulai menjalankan mobilnya.

Satu tangan berada pada stir kemudi, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk menggenggam tangan Alena.

Alena mendengus lalu mencubit tangan besar itu. "Kita bukan suami istri. Gak perlu se romantis itu."

"Benarkah? Tapi ku pikir si mungil suka." kilah Elvano beralasan.

"Si mungil?"

"Baby." balas Elvano memberi penjelasan.

Alena mencoba mengenyahkan perasaan berdebar yang kembali muncul di dadanya. Dilarang keras untuk jatuh cinta. Pikir Alena.

"Yaampun!!! El, Alesha masih di rumah Aric." ujar Alena panik. Bagaimana bisa ia melupakan adiknya sendiri.

"Tenanglah. Veni akan mengantarnya pulang. Kau tidak perlu cemas. Lagi pula Alesha berada di tempat yang aman. Dia tidak sedang berada di gudangnya mafia." balas Elvano santai.

Merasa ada benarnya juga apa yang di katakan Elvano, Alena dapat kembali rileks.

<<<<>>>>

Pada pukul setengah sebelas malam, barulah Aric mengantarkan Alesha pulang.

"Kakak ganteng, makasih udah mau nganterin Lesha. Dan makasih juga tadi gak ninggalin Lesha sendirian di tengah pesta." ucap Alesha sebelum masuk ke dalam rumah.

"Sama-sama." Aric tersenyum hangat menanggapi.

"Aric, aku mau minta maaf-" ucap Alena terpotong oleh ucapan Aric.

"Gak perlu minta maaf Ale."

"Tapi- ada yang harus kamu ketahui."

"Al? Apapun itu, kuharap gak jadi alesan kamu buat jauhin aku." Aric menggenggam tangan Alena sembari meyakinkan nya.

Alena dapat melihat tatapan tulus yang di berikan pria itu. Membuatnya tak tega.

"Jangan pegang-pegang. Bukan muhrim." suara Elvano menggelegar dari arah belakang tubuh Alena.

Aric yang masih berdiri di depan pintu tak terkejut mendapati Elvano yang berjalan keluar dari dalam rumah Alena.

"Lalu kamu sendiri bagaimana? Lebih gak sopanan kamu atau saya?" balas Aric sengit.

Mereka saling melirik tak suka. Menunjukkannya secara terang-terangan.

"Ale, aku pulang dulu. Aku akan menemui mu besok." ujar Aric mengelus puncak kepala Alena.

Alena balas mengangguk polos.

"Gak ada besok-besokan. Yang ada lo berantem sama gue!" kata Elvano meneriaki Aric yang sudah berjalan menjauh.

"Apaan sih. Kayak anak kecil deh kamu." kata Alena mengikut perut Elvano.

"Dari awal aku gak suka kamu sama dia."

"Terus kalau dari awal aku sukanya sama dia gimana?" kata Alena berkacak pinggang. "Gimana? Gak bisa jawab kan kamu."

Elvano seketika terbungkam. Tak ada yang bisa ia jawab dari pernyataan Alena barusan.


Story of Alena [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang