Dulu, aku sering sekali menyerah terhadap hidup. Hanya karena terlalu sering membersamai, tapi tidak dibersamai. Aku sering ingin meninggalkan bumi dan segala sakitnya. Tidak ada cinta yang abadi, melainkan cuma aku yang melulu cinta pada sesiapa saja.
Aku sering merasa bahwa aku hidup untuk hadir, bukan dihadiri. Melulu, selalu, sering. Permainan rotasi membuatku ada untuk bermacam-macam manusia. Orang lain bilang itu bermanfaat, setengah mati aku mencari makna "bermanfaat" dalam diriku. Kucoba percaya, bahwa orang-orang ini kemudian akan hadir ketika aku terjerembab pada keinginan untuk lenyap dari semesta.
Namun, tidak. Semua hampir kulihat sama. Datang dengan tangis, kuseka air matanya, lantas berbahagia tanpa pernah tahu sedikit pun ... aku juga ingin diseka. Saat burukku satu, mereka membenciku seribu. Lupa seberapa sering aku melukai diriku, hanya untuk membuat mereka tetap hidup.
Kadangkala aku merasa seperti terjebak dan terperangkap dalam pasir isap. Menunggu luruh ke bawah, lantas di balik, kemudian luruh lagi. Sekelilingku cuma sering datang, namun lebih sering pergi.
Sekarang aku paham betul, meski kemarin aku benar-benar mengakhiri ketidakpedulian mereka dengan pergi. Kuteriakkan bahwa aku merasakan frustrasi pada diriku--yang mereka angggap biasa. Semua tidak akan pernah berubah.
Cuma aku yang bisa jadi pelipur lara untuk diriku. Sebab satu dari banyaknya alasan, akhirnya aku tetap memilih untuk hidup. Hidup dengan banyak sekat. Tak ada manusia yang benar-benar bernurani, bahkan diriku sendiri pada diriku sendiri.
#30DWCJILID20 #Day4Jilid20
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpukan Rasa Dalam Aksara
PoetryMari Duduk bersamaku di batas senja Sambil membuka lembaran-lembaran cerita kita yang telah menua Ini bukan apa-apa Kau bisa saja menganggapnya tak ada Ini hanya ungakapan sebuah rasa Yang tak terucap oleh lidah Bacalah Barangkali kau bisa memah...