Ada suatu waktu, sudah merasa frustrasi, tetapi tidak bisa menangis. Tidak bisa melepaskan segala sesak dengan air mata. Bila benar air mata adalah semacam bahasa. Maka, aku telah sering kehilangan bahasa dalam hariku. Bagaimana bisa? Juga tidak tahu.
Perasaan tidak aman, tidak melulu dianggap hal menarik untuk didengarkan. Banyak manusia pada lingkupku, yang tidak paham apa-apa soal was-was yang menggelayutiku. Rasa trauma atas sesuatu menyakitkan, yang selalu kudapat dengan cara yang sama, juga tak banyak yang tahu. Aku tidak suka bersedih, tetapi pikiranku yang berbicara demikian.
Aku merasa baik, tetapi ada ledakan dalam diri yang membuatku terurai, berkeping lebih dari seribu rupa. Orang-orang lebih sering melihatku dari fisik yang seolah tangguh, dijejalkan kata-kata, "kau kuat, jalani saja." Padahal setengah mati, aku menjalani sehari macam melewati laut yang maha luas, gelagapan ingin sekalian saja tenggelam.
Kalau ada yang berteriak memintaku untuk tidak menyerah, aku sudah meneriaki diri sendiri lebih kencang dari teriakannya. Kadangkala bahasa tidak membantuku untuk melewati satu jam lagi, kadangkala kehilangan bahasa dan cuma membisu adalah hal paling baik. Entahlah, menjadi jiwa yang terombang-ambing di ujung keyakinan untuk tetap hidup atau menyerah, sangat sulit membedakan yang mana benar-benar sebuah harapan dan mana yang cuma khayalan.
Di balik gundah gulana yang kurasa, akan ada satu dua detik dalam 24 jam milikku berisikan percaya untuk terus melaluinya. Semoga yang kala ini, bukan cuma keinginan menyerah, yang dipercaya-percayakan.
#30DWCJiIid20 #Day5Jilid20
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumpukan Rasa Dalam Aksara
ŞiirMari Duduk bersamaku di batas senja Sambil membuka lembaran-lembaran cerita kita yang telah menua Ini bukan apa-apa Kau bisa saja menganggapnya tak ada Ini hanya ungakapan sebuah rasa Yang tak terucap oleh lidah Bacalah Barangkali kau bisa memah...