7 | Welcome To The (He)ll

1.1K 117 10
                                    

jangan lupa follow, vote dan komentar yaa^^
enjoy and happy reading sahabat miuuu <3

***

"Sesekali, cobalah berhenti memaksakan diri untuk selalu memenuhi ekspetasi orang lain. Sebab kamu berhak memiliki bahagiamu sendiri. Dan dunia juga berhak tahu jika kamu sedang tidak baik-baik saja."

-From Allah To Aira-


Part. 7

KEESOKAN harinya, Tsana sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah karena dokter mengatakan jika kondisinya sudah stabil.

Setelah sholat subuh, Aira membereskan perlengkapan ibunya yang kemarin ia bawa dari rumah. Dia melakukan semuanya sendiri, karena Fika benar-benar tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali sejak hari pertama ibu mereka di rawat di rumah sakit.

Sekarang dia duduk termenung di bangku rumah sakit. Semalam suntuk dia sudah memikirkan segala cara, bagaimana agar dia bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Dia sudah menelpon bibinya, adik perempuan dari Tsana. Tapi tak ayal keadaan ekonomi mereka pun tidak jauh berbeda dengan kondisi yang di alami keluarganya.

Aira menghembuskan nafas sekali lagi. Sesekali membenarkan hijabnya. Mungkin sebaiknya sekarang dia bertanya dulu pada staff rumah sakit mengenai pembayaran dan berapa banyak biaya yang harus dia bayar. Ah, tidak. Yang harus dia siapkan, itu lebih tepatnya.

"Permisi," ucapnya.

Seorang perawat yang menjaga staff pembayaran di rumah sakit itu mendongak dan tersenyum. "Ya, ada yang bisa saya bantu?"

Aira mengangguk. "Saya ... saya mau tanya. Biaya pengobatan pasien atas nama Nur Khatsana berapa, ya, Mbak?"

"Oh, baik. Sebentar, ya, Bu." Perawat tadi langsung mengotak-atik dan mengetik sesuatu di layar komputernya. "Total keseluruhan sudah termasuk obat adalah lima juta tujuh ratus ribu rupiah, Bu."

"Hah?" Aira meringis. Di dompetnya hanya terdapat beberapa lembar uang berwarna biru. Dapat dari mana dia uang sebanyak itu?

"Tapi semua sudah lunas, Bu. Jadi pasien bisa kembali ke rumah hari ini jika dokter sudah mengizinkan."

"A-apa? Lunas?"

"Iya, Bu."

"Ta-tapi siapa yang melunasinya, Mbak? Siapa nama orang itu?"

Wanita dengan name-tag Dinna Nirmala itu menggeleng kemudian tersenyum sopan. "Maaf, Bu, ini sudah menjadi privasi dari bagian rumah sakit ini. Data tidak bisa disebar luaskan ke sembarang orang karena orang tersebut meminta agar kami merahasiakannya."

"Tapi, apa nggak bisa disebutkan ciri-cirinya, Mbak?" Aira masih mencoba mengorek informasi lebih jauh.

"Maaf, kami tidak bisa memberitahu," jawab perawat tadi sembari tersenyum sopan.

Aira menghela nafas. "Ya sudah kalau begitu. Terima kasih."

"Sama-sama." Perawat dengan nama Dinna tadi tersenyum ramah.

Kemudian Aira kembali ke ruangan Tsana. Di sana ibunya sudah menyambut dengan senyum. Senyum yang selalu menjadi penguat Aira. Yang membangkitkan lagi gelora semangatnya, meski teriknya sinar matahari sering kali membakarnya habis-habisan.

"Kenapa anak Ibu? Baru datang kok sudah seperti orang bingung?"

Aira duduk di bangku sebelah brankar ibunya. "Nggak apa-apa, Bu. Sekarang gimana kondisi Ibu? Sudah lebih baik? Atau masih ada yang sakit?"

From Allah To AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang