Chapter 16

1.1K 155 15
                                    

1 bulan kemudian

Kali ini, untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Jihoon merasa dia bukanlah siapa-siapa. Tidak ada lagi si Jenius Lee yang selalu ceria setiap harinya. Tidak ada lagi gelak tawa bahagia yang keluar dari mulutnya. Lee Jihoon, kini hanyalah sehelai daun kuning yang gugur jatuh ke tanah.

Jihoon mencoba tak peduli, meski rasa sakit terus menyayat hati. Ia mencoba menjadi dingin, tapi tak bisa, walau sebenarnya ia ingin. Jihoon kini benci dipanggil si Jenius Lee yang dengan kepandaiannya dia mampu mencetak nilai sempurna. Karena pada kenyataannya, Jihoon bodoh. Terlampau bodoh sampai ia rela diperbudak oleh cinta. Rela dicaci dan dimaki. Rela ditatap benci, asalkan bisa melihat sang pujaan hati. Cinta, satu kata yang mampu melumpuhkan otak sehat siapa saja, bahkan Lee Jihoon sekalipun. Rasa-rasanya ia ingin melarikan diri dan menyalahkan diri sendiri. Sudah tahu otaknya tak bisa diajak berpikir jernih, hatinya pun malah samanya. Terlampau jujur hingga tak bisa ia atur untuk membedakan mana cinta mana benci.

Jihoon melihat ke langit melalui jendela berkaca lebar yang ada di ruangannya. Cerah, batinnya berbicara. Disana ada burung-burung yang bebas berterbangan tanpa beban. Jihoon iri. Ia juga ingin merasakan sebebas itu. Terbang di atas awan dan pergi sesuka hati.

"Hah.." Jihoon menghembuskan napas beratnya.

Pandangannya ia alihkan pada sebuah tiang besi di samping ranjangnya. Kantung berisi cairan itu menggantung di sana dan cairannya dipaksa masuk melalui vena. Sudah seminggu ini, Jihoon hanya bisa terbaring lemah di sini. Mengandalkan 2 selang untuk menopang kehidupan. Jihoon rindu menghirup udara segar seperti waktu itu. Tidak seperti saat ini, dimana ia bergantung pada selang oksigen.

Cih,

Jihoon berdecih dalam hati. Selama ini hanya ketiga sahabatnya yang selalu menjenguk dia. Tak ada lagi sebuah lengan yang selalu menggenggam hangat sepanjang malam. Tak ada lagi wajah yang tertidur di samping ranjangnya.

"Sial, halusinasi macam apa itu ? Ji ! Stop memikirkan dia" Jihoon menampar pipinya sendiri. Memaksa dirinya kembali pada kenyataan yang sesungguhnya.

Membayangkan sosok itu ada di sampingnya saat ia terbujur lemah tak berdaya ? Mustahil. Kwon Soonyoung. Namanya saja yang tak berubah, tapi orangnya sudah berbeda. Mana mungkin si angkuh itu mau menjenguk orang yang dibencinya. Bisa jadi ia malah berharap si mungil itu cepat-cepat menemui Tuhan. Mati pun, sosok itu tak akan peduli. Hah. Janji, janji, janji. Selalu janji, tapi tak ada yang ditepati. Kecewa, putus asa. Meski begitu, Jihoon masih punya sedikit harapan yang tersisa.

Akankah ? Pemuda Kwon itu hadir sekali saja, meski itu adalah hari pemakamannya ?

***

Suara gelak tawa Min Chae menggelegar dikelasnya. Ia terlihat begitu bahagia bercanda bersama teman satu gengnya. Ya tak ada yang lebih membahagiakan dirinya ketimbang saat ini. Bisa tertawa sembari menikmati wajah si pangeran hati, plus statusnya yang —oh, hatinya berdebum ketika memikirkan bahwa ia menjadi kekasih pemuda Kwon yang kini ada di hadapannya.

Senang rasanya. Bisa mendapat lelaki sepopuler Soonyoung. Secara tidak langsung ia akan selalu menjadi headline news satu sekolah ini. Menenggelamkan nama Lee Jihoon yang selalu disebut. Min Chae. Sosok yang haus akan perhatian orang. Dan satu-satunya cara mewujudkan mimpinya adalah menjadi kekasih Soonyoung. Tidak, ia tidak mencintai Soonyoung asal kalian tahu. Ia hanya butuh nama Soonyoung. Dan boom, sekarang satu sekolah tak ada yang tak mengenal dirinya.

Berbeda dengan Soonyoung, dikala teman satu gengnya bercanda hingga terdengar gelak tawa, ia malah menatap kosong ke depan. Ia bertanya-tanya sendiri dalam hati, kemana si mungil Lee selama seminggu ini ?

Terlebih ketiga sahabat Jihoon selalu pulang bersama dan pergi ke arah yang berlawanan dengan rumah mereka. Ada apa ? Apa ada sesuatu yang terjadi pada Jihoon ?

Ia penasaran dan ia sudah memutuskan akan menjalankan rencananya sepulang sekolah nanti.

***

"Baby, kau akan mengantarkanku pulang kan ?" Tanya Min Chae sembari bergelayut manja pada lengan Soonyoung yang kekar.

"Tidak Min Chae, hari ini aku tak bisa. Ada sesuatu yang harus ku lakukan. Sekarang aku mohon, lepaskan tanganmu dari lenganku" kata Soonyoung tajam.

Oh yang benar saja, dia kesal saat ini. Min Chae benar-benar membuatnya mengulur waktu. Ketiga sahabat Jihoon sudah pergi duluan dan menjauh. Kalau ia semakin berlama-lama, bisa-bisa ia kehilangan jejak mereka.

Soonyoung akhirnya melepaskan tangan Min Chae dengan paksa. Ia buru-buru menyalakan motornya dan bergegas menyusul ketiga orang yang sudah di depannya itu.

Soonyoung terus membuntuti di belakang. Ia merasa aneh. Ini jalan menuju pusat kota. Sebenarnya mau kemana mereka ? Tak mungkin mereka pergi berbelanja sampai setiap hari selama seminggu ini. Dalam perdebatan pikirannya, Soonyoung ikut berhenti saat taksi yang memuat ketiga sahabat Jihoon itu berhenti di depan sebuah rumah sakit.

Soonyoung bisa melihat ketiga sahabat Jihoon itu hendak masuk ke dalam.

Soonyoung buru-buru memarkirkan motornya, kemudian mengikuti mereka. Dalam setiap langkah melewati lorong demi lorong, perasaan Soonyoung kalut. Ia berharap bukan Jihoon yang hendak mereka sambangi. Ia terus membatin, tak mungkin Jihoonnya.

Sampailah ketiga orang itu di depan sebuah kamar pasien di lantai 3. Mereka kemudian masuk ke dalamnya. Soonyoung pun pelan-pelan melangkahkan kakinya. Melongokkan kepalanya, mengintip dari celah kecil kaca pintu kamar.

Deg.

Soonyoung tak sanggup menerima fakta ini. Ia berharap apa yang ia lihat salah. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruknya. Tapi.. tapi air mata yang kini mengalir ke pipinya terasa nyata.

Saat itu juga hatinya bagaikan dihancurkan berkeping-keping. Ia tak sanggup melihat Lee Jihoon terbaring lemah dengan alat-alat bantu yang terpasang di tubuhnya.

"Bodoh. Bodoh. Bodoh" gumam Soonyoung sembari membenturkan kepalanya ke dinding di samping pintu.

Soonyoung jatuh merosot ke bawah. Duduk bersimpuh di atas lantai yang dingin. Dia terus-terusan memukul dadanya. Berusaha menghilangkan rasa sesak yang membelenggu. Tapi tak bisa, rasanya semakin sakit saat memikirkan bagaimana tubuh mungil yang selalu ia puja itu kini malah terbujur lemah tak berdaya.

Dan saat ini pula, Soonyoung sadar, betapa ia sudah menjadi orang paling kejam di dunia. Dan untuk kali ini, biarkan hatinya yang menuntun dia. Dan Soonyoung bersumpah, ia akan memperbaiki kesalahannya sebelum semua terlambat. Biarkan cintanya yang menang mengalahkan egonya. Karena egonya yang membuat Jihoon tersiksa. Selama ini ia merasa bahwa ia menjadi orang paling disakiti, paling menderita. Tapi kenyataannya, Lee Jihoon bahkan lebih merasakan sakit, jauh lebih menderita dibanding dia.

"Ji.. " gumam Soonyoung dalam tangisannya.
.
.
.
.
Bersambung

Don't Bring My Heart | SOONHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang