10. Perasaan Yang Berubah

249 45 11
                                    

Senja sudah berlalu menjadi petang. Kurang lebih dua jam sejak Alita tiba-tiba pergi bersama Raiyan tanpa pamit. Dua panggilan telpon dan serbuan pesan Syiffa terima dari Kevin untuk menanyakan anaknya. Jika Syiffa belum berhasil memastikan apa yang terjadi dengan Alita sebelum Rizki pulang, sudah dipastikan masalah lain akan timbul karena Kevin terus menerornya

Maka setelah Alaia menyampaikan bahwa Si sulung baru saja pulang dan naik ke lantai dua, Syiffa segera meninggalkan pekerjaannya di dapur dan pergi menyusul.

Sahutan suara dari dalam kamar terdengar tidak bersemangat, tanpa menunggu di detik kedua, Syiffa segera memasuki kamar Alita masih dengan celemek yang ia pakai.

"Alita!" Syiffa memanggil marah, namun emosinya seketika surut begitu mendapati Sang Putri terduduk lesu di tepi ranjang. Syiffa menghampiri. "kamu dari mana? Ayah khawatir, dia bolak-balik nelpon bu-"

Rentetan pertanyaan Syiffa terhenti saat Alita menatapnya tersenyum tipis. Entah ini firasat seorang ibu atau apa, tapi Syiffa merasa ada luka di balik senyum itu.

"Kak," Syiffa duduk di samping Alita. Ibu muda itu menyelipkan poni lepek putrinya ke belakang telinga sambil mencoba membaca apa yang terjadi melalui raut sendu di hadapannya. "Ada apa? Cerita."

"Ma," Alita memanggil parau. "Maafin Alita."

"Untuk yang pergi tanpa pamit tadi? Mama maafin asal kamu cerita ada apa. Kamu kayak tadi pasti ada sebabnya 'kan?"

Alita menunduk, menatap jari tangannya yang saling bertaut di pangkuan. "Maaf udah bikin Mama sedih sampe Mama sakit."

Syiffa sedikit bingung. Ia mengangkat dagu Alita agar kembali menatapnya. "Mama nggak ngerti."

"Mama hamil Lita nggak sengaja, bahkan mungkin nggak Mama inginkan. Itu karena perbuatan kotor Ayah."

Syiffa terhenyak hingga tubuhnya gemetar.

"Dulu Lita marah sama kalian karena Lita menganggap kalian adalah penyebab Alita dibilang anak haram. Sampe Mama masuk rumah sakit waktu hamil Al. Padahal sebenarnya Mama nggak salah, Mama cuma jadi korban tindakannya Ayah. Mama juga sakit, bahkan lebih-lebih sakit dari yang Alita rasain. Harusnya Alita berterimakasih karena Mama nggak ngegugurin Alita."

Air mata Syiffa mengalir deras mendengar kalimat itu dari mulut Alita yang justru terlihat tenang. Mungkin kalimat itu sedikit mengingatkannya pada masa lalu pahit, namun yang lebih menyakitkan adalah saat Alita telah mengetahui semua yang berusaha ia simpan rapat-rapat. Dia tidak ingin membebani Sang Putri tercinta.

"Alita." Syiffa merengkuh tubuh Alita dan menenggelamkan dalam pelukan. Ia mengusapi dan sesekali mencium puncak kepala anak gadisnya. "Mama yang minta maaf-" tenggorokan Syiffa tercekat. "maaf udah bikin kamu terbebani. Maaf karena Mama nggak bisa jadi orang tua yang bener, maaf-"

"Ma," Alita menggeleng di pelukan Syiffa. "Alita nggak pernah menginginkan ibu lain selain Mama. Alita bersyukur kita saling memiliki."

Alita melepas pelukan untuk mengusap air mata yang membanjiri wajah Syiffa. "Jangan nangis."

Syiffa menangkup dua pipi Alita. "Sejak kapan kamu tahu soal ini, Ta?"

"Waktu Pakde Dimas di sini sama Papa ngomongin masalah rumah makan. Alita baru pulang dari Dufan sama Ayah. Pakde marah ngeliat Ayah dan-" Alita tak sanggup melanjutkan cerita. "Waktu itu Alita masih kecil, kelas 3 SD, tapi Alita nggak bisa lupain kejadian itu sampe sekarang."

Ingatan Syiffa terlempar ke tujuh tahun lalu, saat mendapati teras rumahnya bak kapal pecah diterjang kemarahan Dimas lewat cerita Rizki. Yang ia khawatirkan saat itu Alita, tapi gadis kecilnya tidak pernah menunjukan perubahan sikap berarti. Syiffa tidak menyangka justru kejadian itu telah membuka semuanya dan selama itu Alita memendamnya sendiri.

Dream EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang