12. Ancaman

229 43 5
                                    

Bayangan Syabil menangis kemarin tiba-tiba memenuhi pikiran Alita lagi. Hanya berselang sehari hingga berita keluar dari sekolah sampai ke telinganya bahkan dari orang tua Syabil sendiri. Walau sebenarnya tadi ia tidak sengaja menguping.

Ada apa ini?

Alasan Syabil kemarin menangis sudah bisa Alita pastikan karena melihat kedekatannya dengan Raiyan. Tapi Alita bisa apa? jika setiap kali ia mengusir Raiyan namun cowok itu seakan tidak punya telinga untuk penolakan Alita. Ditambah lagi dengan perasaan yang membuat Alita sendiri bingung. Otaknya tidak ingin memikirkan cowok itu, tapi hatinya melawan.

"Ta,"

Alita terhenyak saat Sephia menepuk bahunya.

"Apa mikir materi Speech sestress itu?" Sephia menertawai raut kaget Alita. "lo kayak orang baru dipecat kerja setelah ketemu Miss Indira."

Alita tersenyum kecil. Seolah mendukung dugaan sahabatnya.

"Jam olahraga udah abis, ganti baju yuk."

"Tadi lo udah ijinin gue ke Pak Gatot? Mima ke mana?" Alita celingukan mencari satu sahabatnya lagi.

"Masih sama Jamil." Sephia menggandeng Alita menuju loker. "Meskipun mantannya banyak, gue nggak pernah liat Mima sejatuh cinta itu sama cowok." Sephia melirik Alita sambil tersenyum. "Mima itu tipe cewek yang suka dikejar, abis gitu dia yang buang pacarnya pas udah bosen. Nggak nyangka yang bisa bikin Yemima ngebet malah cowok semacam Jamil. Ya 'kan, Ta?"

Alita tersenyum tipis. "Jamil cowok polos. Semoga dia emang sepolos yang kita lihat. Awas aja kalo dia berani macem-macemin Mima!" ia meninju telapak tangannya sendiri.

Tawa Sephia berderai. "Kebalik deh kayaknya. Karena Mima yang lebih agresif."

Sepasang sahabat itu tertawa sambil membuka loker. Mengambil seragam ganti lalu ke kamar mandi.

"Tapi, mereka nggak mungkin bersatu 'kan?" Alita berbicara pada Sephia yang ada di bilik toilet sebelah. Suaranya terdengar sedih.

"Kita masih SMA, Ta. Waktu kita masih panjang. Biarin Mima sama Jamil menikmati hubungan mereka."

"Hm, gue cuma nggak mau temen gue patah hati. Jamil sendiri belum pernah pacaran. Nggak ngebayangin gimana nanti mereka harus pisah bukan karena udah nggak saling sayang. Tapi karena keyakinan."

Hembusan napas dalam Sephia terdengar hingga tempat Alita. Disusul dengan suara derit pintu dan gemericik air wastafel. "Nggak ada yang tau masa depan, Ta. Seperti hari ini. Gue memilih pergi dari Jovan, sedangkan Mima dapet cowok baru. Dan juga nggak ada yang tau lo sama Raiyan kedepannya gimana." kata Sephia sambil membasuh tangannya.

"Apaan, sih?" balas Alita sewot.

Sephia tertawa. Ia berbalik, bersandar pada tepian wastafel, melipat tangan di dada dan melihat pintu toilet di hadapannya jenaka. "Lo pikir gue nggak tau kemarin pas kita di kantin lo tiba-tiba pergi itu nemuin Raiyan? Lo ngawasin gue, gue juga ngawasin lo, Ta."

Hening.

Bahkan gerakan Alita sama sekali tak terdengar.

"Kenapa? bingung mau ngeles?"

"Berisik lo, Pi! kayak emak-emak. Gara-gara lo ngebahas Raiyan gue jadi sakit perut."

"Bilang aja nervous! gue yakin pipi lo sekarang merah." Sephia membereskan pakaian olahraganya. "Gue tunggu di depan, ya?"

"Yaaa..."

Entah yang dibilang Sephia betul atau tidak. Dua pipi Alita memang terasa panas saat mengetahui ternyata Sephia mengawasi gerak-geriknya. Tapi selain itu, perut Alita juga mendadak mulas. Sakit yang benar-benar berartian Alita harus mengeluarkan isi perutnya.

Dream EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang