Dalam hidup, kita semua tembikar yang pernah pecah. Retakan-retakan kecil yang tak terlihat, luka-luka yang disimpan dalam diam. Tapi lihatlah di antara itu, selalu ada seutas emas yang mengikatkan kita kembali."
.
.
.
"Kak, bangun!"
Khanza merasakan ada yang menepuk-nepuk pipinya. Ia hanya melenguh pelan, enggan membuka mata. Selimut ditarik lebih tinggi, membungkus tubuhnya yang masih lelah seperti kepompong yang belum siap menetas. Udara pagi begitu menusuk.
Samar-samar, terdengar tawa renyah di samping tempat tidur. Suara yang terlalu ceria untuk pagi yang terlalu sunyi.
"Bangun, sayang. Piket pagi, kan?"
Suara itu terdengar lembut, menelusup ke sela-sela kesadaran yang masih kabur. Sentuhan jari membelai pipinya, hangat dan akrab, membuat Khanza mengerutkan dahi pelan.Ia hanya menggumam, seolah kata-kata itu hanyalah hembusan angin pagi yang tak perlu ditanggapi. Namun saat mendengar, "Ayah sama Bunda nunggu di bawah," barulah ia menyerah. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, ia bangkit perlahan, menjejakkan kaki ke lantai yang dingin seperti es batu.
Langkah kakinya menyeret ke kamar mandi. Cahaya lampu menyilaukan, air terasa seperti percikan es, menyusup dingin ke kulit yang belum sepenuhnya sadar. Mandi pagi itu bukan penyegar, tapi seperti ujian kecil perang antara niat dan kenyataan.
Setelah bersiap, Khanza turun ke meja makan. Di sana sudah ada roti panggang yang masih hangat dan segelas susu cokelat yang mengepulkan hangat. Ia duduk, diam-diam mencoba menikmati, walau selera makannya jauh tertinggal di balik rasa tidak enak di tubuh.
Malam sebelumnya, setelah Huda mengantarnya pulang, Khanza langsung mandi dengan harapan air hangat bisa melepaskan lelah dari seluruh persendiannya. Tapi tak lama setelah itu, tenggorokannya mulai terasa perih, kepalanya berat. Ia sempat mengira hanya kelelahan biasa. Tapi pagi ini membuktikan sebaliknya.
"Pucat banget, Kak. Kamu sakit ya?" Aulia muncul dari belakang, lalu meraba dahinya. Alisnya langsung mengernyit. "Hangat, nih. Udah, enggak usah masuk!"
"Bunda, Khanza nggak apa-apa. Lagian, hari ini enggak berat-berat amat, kok."
Ia mencoba tersenyum, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa lelah."Kalau enggak enak badan, istirahat aja. Jangan dipaksain," timpal Azka yang duduk tak jauh dari mereka. Nadanya tegas, namun lembut.
Khanza menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, Yah. Oh iya, nanti sore Khanza izin nonton sama teman, ya. Bajunya udah dibawa, jadi Pak Toni enggak usah jemput."
Setelah perdebatan kecil yang penuh perhatian, Khanza akhirnya tetap berangkat. Udara pagi masih menyisakan basah dari gerimis semalam, dan angin menyentuh pipinya. Khanza menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
Setelah apel, Ia menuju Ruang Sakura dengan langkah hati-hati. Piket pagi ini cukup ringan: mencatat data pasien baru, mengecek stok alat medis, dan membantu evaluasi pasien rawat inap. Sesekali ia duduk mencatat, sesekali menjawab pertanyaan keluarga pasien. Beberapa dari mereka yang sudah mengenalnya menyapa hangat, membuat suasana sedikit lebih bersahabat di tengah tubuhnya yang menggigil pelan.
Pukul dua siang, tugasnya selesai. Ia pamit pada Bu Wati dan berjalan pelan ke parkiran bersama Nia dan Anggi. Terik siang hari menggantikan dingin pagi.
Mereka sepakat mampir ke rumah Anggi sebelum ke bioskop. Jarak ke sana lebih dekat dari rumah Khanza. Saat motor melaju dengan Nia sebagai pengendara, tiba-tiba langit menumpahkan hujan deras. Hujan yang datang mendadak, seolah enggan memberi mereka kesempatan untuk berteduh.

KAMU SEDANG MEMBACA
FLAMBOYAN
Novela JuvenilTakdir, sekali bergerak, tak pernah bisa dihentikan. Ia mengalir seperti angin, tak terlihat, tak tersentuh, tapi mampu menggoyahkan yang paling kokoh. Bahkan seluruh kekuatan dunia pun tak mampu menahannya. Ia hanya datang... lalu mengubah segalany...