Antara aku, Mama, dan Bang Reno

198 70 16
                                    

Cerahnya mentari pagi ini menemani kegembiraanku yang sangat membuncah. Bagaimana tidak? Aku yang ketika SMP nilainya selalu menempati posisi antara 30-31 dari 40 siswa, kini bisa memasuki SMA Garuda Bangsa, SMA yang tersohor dan terfavorit di ibukota ini. Kalian pasti bertanya-tanya bukan, mengapa aku bisa masuk SMA Garuda Bangsa? Padahal aku tergolong siswi yang bodoh. Iya, bodoh.

Memang awalnya aku sudah pasrah ketika kelas IX semester 1, aku kembali mendapat nilai yang jelek dan anjlok, yaitu menempati urutan terakhir di kelas bahkan mendapatkan nilai urutan kedua dari akhir dengan teman seangkatan. Salahku juga sih, sudah otak pas-pasan, lalu saat belajar di kelas ada yang tidak dimengerti, aku diam saja. Mau bagaimana lagi, aku itu buruk dalam berkomunikasi dan juga anti sosial, jadi begitu. Namun, meskipun sudah biasa mendapati nilai jelek, tetapi yang ini terasa sangat menyakitkan. Kesannya, aku sangat bodoh. Belum lagi, ditambah cibiran Mama yang selalu membandingkan aku dengan Reno, abangku. Menyebalkan sekali rasanya mempunyai Mama yang hanya memuji dan membanggakan anaknya yang pandai berbicara di depan umum. Mama selalu lebih sayang pada Bang Reno yang kerap diundang ke acara kampusnya untuk memberi sambutan atau menjadi MC acara dan juga Bang Reno merupakan orang yang sangat mudah bergaul, intinya dia itu ekstrover. Berbeda dengan aku yang kebalikan dari Bang Reno alias introver, dan Mama tak suka dengan sifatku. Sudah Papa meninggal, Mama tidak suka denganku, dan juga Abang yang selalu sibuk dan dibanggakan hingga membuat aku iri. Bagai anak terbuang rasanya.

Terlalu muak menerima kenyataan, akhirnya aku mendorong semangat diri untuk memperbaiki nilaiku. Aku mulai meningkatkan cara belajar yang tentunya tidak melibatkan komunikasi langsung dengan orang, yaitu dengan menggunakan handphone-ku. Aku terus berlatih dengan semangat mengingat waktuku hanya sisa satu semester untuk belajar di SMP, yang berarti juga akan melanjutkan ke jenjang SMA.

Hingga pada akhirnya, aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi seangkatan ketika UN. Pastilah guru-guru sampai terheran-heran melihat nilaiku yang menaik secara drastis. Namun berbeda dengan Mama dan Abangku, mereka tetap bersikap tak acuh.

Mama malah berkata, "Percuma, kalo bisa naikin nilai tapi tetep anti sosial. Manusia ansos itu nilainya buat dimakan sendiri, gabisa pamerin ke orang-orang! Ga berguna!"

"Terserah dia aja lah, Ma. Selamat buat hoki-nya," sinis Abangku.

Tetapi, semangatku tetap berkobar walau mereka tetap merendahkanku. Karena aku sudah terbiasa dengan sikap ketidakpedulian mereka. Aku kembali membuktikan pada mereka bahwa aku dapat masuk di SMA Garuda Bangsa, sekolah tersohor dan terfavorit di ibukota. Namun, seperti biasanya Mama dan Abang tetap acuh. Kemudian, aku mencari cara lain agar bisa dianggap oleh Mama dan Abangku. Bukan cari perhatian, melainkan hatiku sudah rapuh merasa seperti anak yang terbuang. Tiba-tiba saja aku mempunyai ide untuk menulis cerita di ponselku agar bisa diterbitkan dan mendapatkan uang. Di sinilah awal aku kembali berjuang.

Setiap hari aku selalu memaksakan ide diotakku agar keluar dan bisa dituangkan dalam sebuah tulisan. Pagi, siang, sore, dan malam aku jadi ketagihan menulis. Setiap sebelum bel masuk di sekolah, aku selalu menyempatkan menulis cerita di taman belakang sekolah hingga seringkali telat masuk atau tidak masuk kelas. Bahkan aku kembali menduduki nilai jelek. Aku juga jadi sering melupakan tugasku di rumah, seperti menyapu, mengepel, dan mencuci baju. Hingga puncaknya, ketika Mama memarahiku, aku merasa tertampar dengan perkataannya.

"Dasar anak tidak berguna! Sudah anti sosial, nilai di sekolah selalu buruk, dan sekarang berani-beraninya sering bolos pelajaran. Belum lagi, selalu ngurung di kamar tanpa mengerjakan sesuatu di rumah! Mending kamu keluar saja dari rumah ini!" Begitu kata Mama.

Aku tersadar, aku terlalu terlena oleh tulisan cerita diponselku. Karena dengan menulis, aku merasa seperti punya teman, sampai-sampai aku melupakan tujuan utamanya agar dianggap dan dibanggakan oleh Mama. Tetapi, semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Mama yang awalnya hanya tak suka, kini sangat benci padaku. Aku benar-benar terusir dan memang aku pantas mendapatkannya. Lantas aku pergi berjalan tidak tentu arah dan menjauh dari rumah dengan membawa sekoper baju, juga tak lupa membawa ponselku.

Pada hari ketiga aku keluar dari rumah, aku merasa sangat pusing dan lemas sebab tiga hari itu juga aku tidak mendapat asupan apapun. Sebelumnya, ada orang yang bersimpati menawarkan sekotak nasi dan ada juga yang ingin mengasihku uang. Namun, aku tidak berani menerimanya. Alhasil, sekarang aku berjalan tertatih-tatih untuk menuju ke rumah kembali. Terserahlah mau dikatakan apa saja sama Mama dan Abang, aku sudah sangat tidak kuat. Perutku sakit, serasa ingin mati. Tiba-tiba saja ketika aku sedang menyeberang jalan, sebuah sinar mobil dari samping menyilaukan pandanganku dan ragaku terbanting begitu saja.

Tubuhku mati rasa, kepalaku terasa amat pening, dan tidak berseling lama pandanganku terasa gelap. Tetapi, sebelum itu sayup-sayup aku mendengar suara Mama yang berteriak, "REINA, SAYANG!"

Ragaku bagaikan terbang melayang bersaaman dengan hati yang amat tak menyangka bahwa Mama akan berkata khawatir seperti itu. Mama mengatakan sayang padaku. Namun, di alam bawah sadar ini aku melihat Papa mengulurkan tangan padaku, mengajak pulang. Ma, Bang, aku sayang kalian.

---

Ini cerita lamaku gais. Makanya panjang dan membosankan🔥

Tapi, tetep harus VOTE AND COMMENT YA! Terima kasih.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang